Tadi malam akhirnya saya minum susu kambing. Di warung tenda pinggir jalan dekat masjid besar. Bukan karena benar-benar ingin sebenanya, tapi karena susu sapi sudah habis. Itulah mengapa waktu si pedagang menawarkan susu kambing buat gantinya, saya pun serasa diingatkan: sudah lama saya penasaran ingin nyicip susu kambing.
Kepada si pedagang saya bertanya apakah susu kambing enak. Dia tidak menjawab, hanya bilang, sambil tersenyum, susu kambing banyak khasiatnya. Mau yang manis?
Maka saya pun menghadapi segelas susu kambing. Tawar tanpa gula. Saya ingin rasa original, tidak dimanis-maniskan. Agak lama saya tatap saja gelas itu. Bukan kenapa-kenapa, saya tidak ingin lidah terbakar. Susu itu masih panas.
Tapi situasi memang mendadak mewah. Ini bakal jadi pengalaman pertama saya minum susu kambing. Dan pengalaman pertama, dalam banyak soal, memang mendebarkan. Ada sesuatu yang berdenyar dan bergetar asing di saat yang belum biasa dialami sebelumnya.
Bagaimakah rasa susu kambing? Seberapa bedakah dengan susu sapi? Akankah rada kecut, atau mungkin sedikit pahit?
Di gerobak susu itu ada gambar sapi kartun; gambar kambing tidak ada. Hanya memang tertera tulisan: sedia susu sapi dan susu kambing. Saya pun menyusun sendiri citra kambing di kepala.
Apakah terdapat hubungan antara rasa susu dengan bentuk serta ukuran hewannya? Sapi dibikin Tuhan berbadan besar, sementara kambing tidak ada yang sebesar sapi setahu saya. Sapi kadang lucu, kadang biasa-biasa saja, sementara kambing jarang terkesan lucu buatku. Tapi kambing lebih lincah. Itulah, saya kira rasa susu hewan yang lebih sering berlari dengan susu hewan yang lebih banyak diam dan kalem pasti berbeda.
Dulu saya pernah tidak suka minum susu, apalagi susu putih. Kalau susu coklat, saya bisa minum. Susu tawar bikin saya mual. Ini barangkali karena saya mengalami kebosanan pada susu. Waktu kecil, saya dapat ASI selama hanya dua bulan. Ibuku waktu itu keburu pergi tugas mengajar ke daerah jauh dan saya tidak mungkin dibawa serta. Sebagai ganti ASI aku pun diberi susu sapi oleh nenek dan bibi-bibiku. Saya segut sekali minum susu waktu itu, kata mereka. Sebotol sebelum tidur, saya kadang minta tambah. Itulah mengapa saya disebut anak sapi oleh bibi-bibiku.
Tapi itu semua sebenarnya tidak menjawab kenapa setelah rada besar saya jadi eneg sama susu putih.
Kembali ke susu kambing. Saya jadi ingat pernah berkunjung ke Jonggol Farm, pesantren wirausaha dan agribisnis milik pengusaha Muhaimin Iqbal di Jonggol, Bogor. Di sana mereka mengembangkan peternakan kambing susu dengan pakan khusus rumput alfafa. Kata orang dari Jakarta yang hadir di sana waktu itu, susu kambing susu yang diminum Nabi. Jadi baguslah kalau kita orang Islam minum juga. Orang itu lantas bicara khasiatnya yang konon lebih baik dari susu sapi yang lebih umum kita minum.
Menanggapi bicara orang Jakarta itu, kawanku bilang: betul memang susu kambing berkhasiat super. Kawan kami di kampus dulu pernah penelitian soal susu kambing saat skripsi. Dibantu susu kambing penderita diabetes bisa lebih lekas sembuh. Demikianlah, obrolan jadi seru dan menarik. Merembet ke mana-mana. Kami pun saling tukar alamat dan nomor telepon. Orang dari Jakarta itu bilang, di sana mereka payah cari susu kambing. Kalaupun ada, harganya mahal.
Di warung tenda itu, tadi malam, saya pun menghadapi segelas susu kambing. Di kertas pengumuman yang dibuat sedemikian rupa oleh si pedagang, harga susu kambing Rp 9 ribu, lebih mahal Rp 5 ribu dari susu sapi. Nah, susu sudah tidak terlalu panas. Saya angkat gelas pelan-pelan. Sebentar saya hirup aromanya, juga dengan perlahan. Sambil mengingat-ingat bau susu sapi buat membedakannya. Sambil bola mata saya bergulir ke samping. Sapi kartun yang nempel di badan gerobak terlihat sumringah.
Saya teringat ibu.
Maka malam itu si anak sapi minum susu kambing. Segelas penuh. Pelan-pelan dengan penghayatan. Perutnya jadi hangat. Dan di kepalanya terhampar padang rumput luas. Di sana kambing-kambing itu berlari-lari ringan cari makan di bawah matahari yang mulai naik sepenggalah.***
2 comments:
first post on June? hho
Terima kasih, Nurul, sudah mampir di sini.
Post a Comment