Tuesday, November 20, 2012

PARA PENCARI


Oleh Wildan Nugraha

Randy, Hasan, dan Cikal. Tiga pemuda dengan latar belakang berlainan. Randy seorang aktivis dakwah kampus yang militan. Hasan seorang sosialis yang gelisah dalam pencarian. Dan Cikal, seorang selebritas, vokalis sebuah band yang sedang tersohor, namun menemukan titik kehampaan dalam pencapaiannya itu. Dalam jalinan kisah, ketiganya bertemu. Sebuah nama dalam sejarah pergerakan Islam menautkan mereka dengan caranya masing-masing. Nama itu Hasan Al-Banna.

Randy sangat mengagumi Hasan Al-Banna. Bahkan Randy lebih ingin menyebut namanya sendiri sebagai Randy Al-Banna ketimbang Randy Danujaya, nama pemberian orangtuanya. Dia suka membayangkan dirinya, seperti kerap dilakukan Hasan Al-Banna di Mesir semasa hidupnya, berdakwah di jalanan dari cafe ke cafe, menyeru umat agar lebih taat menjalankan Islam, menegakkan salat, dan senantiasa mengesakan-Nya.

Buku-buku yang merekam jejak pemikiran dan aktivisme Hasan Al-Banna telah dibacanya, baik yang ditulis sendiri oleh Hasan Al-Banna maupun yang ditulis oleh tokoh lain mengenainya. Tentang kehidupan pribadi tokoh perubahan itu. Tentang pendirian dan ketaatannya kepada Allah. Tentang kecendekiaannya. Tentang kegiatannya di Ikhwanul Muslimin, lembaga dakwah yang didirikan Hasan Al-Banna, yang pemikirannya kemudian merembet menyebar ke banyak negara di dunia.

Sementara Hasan, si sosialis yang gelisah, digambarkan sebagai tokoh yang sedang merekonstruksi sejarah hidupnya di masa lalu. Dia menemukan fakta tentang kematian ayahnya, seorang ulama muda di daerah pinggiran pantai, yakni akibat intrik bisnis orang-orang tamak; pun Hasan akhirnya tahu alasan mengapa sang ayah memberinya nama Hasan—lengkapnya Hasan Al-Banna—persis dengan nama seorang aktivis dakwah yang sangat berpengaruh di Mesir.

Dengan nama samaran “seseorang itu”, Hasan berbincang-bincang melalui chat room di Internet dengan Randy Al-Banna tentang Hasan Al-Banna. “Ana senang ada orang seperti antum yang mau mengenal lebih jauh tentang Hasan Al-Banna,” kata Randy (hlm. 283). Randy saat itu belum tahu nama asli dari seseorang itu. Dalam hal ini, tentu saja, tanpa mereka masing-masing sadari sepenuhnya, kalimat Randy punya banyak makna: Hasan Al-Banna yang dimaksud, selain merujuk pada ulama Mesir itu juga tidak lain ialah kepada namanya (kepada diri Hasan si gelisah itu) sendiri.

Tentang identitas

Salah satu hal yang dapat kita baca dari novel Sang Pemusar Gelombang karya M Irfan Hidayatullah (Salamadani, 2012) ini ialah pencarian (kembali) identitas atau fitrah manusia. Dalam Islam, disebutkan bahwa fitrah manusia ialah untuk beribadah kepada-Nya (QS 51: 56). Dengan perkataan lain, pada dasarnya semua manusia ialah cenderung kepada kebaikan, condong kepada Islam, berorientasi kepada Allah.

Namun demikian, pada saat bersamaan manusia memiliki sifat negatif, yakni kikir dan berkeluh kesah. Hal ini dapat kita baca pada QS 70:19-21. Tapi pada ayat-ayat berikutnya dalam surat Al-Ma’arij itu, Allah menyebutkan beberapa pengecualiannya, yakni antara lain mereka yang mengerjakan shalat dengan sungguh-sungguh, bersedekah, takut kepada Tuhannya, dan menjaga kemaluannya. Dalam surat lain di Al-Quran, Allah pun menegaskan bahwa manusia memang benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati agar mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran (QS 103: 2-3).

Hal tersebut bisa kita maknai dalam penokohan yang dilakukan Irfan Hidayatullah atas tokoh-tokohnya: Randy, Hasan, dan Cikal. Mereka adalah para pencari—dan pencarian mereka (atas fitrah manusia) itu bukan tanpa rintangan. Keluarga Randy cenderung menganggap agama tidak terlalu penting meski mereka bukan keluarga sekular. Ini membuat Randy menjadi unik kalau bukan terasing di keluarga besarnya. Pada acara halal bihalal keluarga misalnya, kontras itu tergambar: berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain yang menjadikan ajang tahunan itu buat sarana pamer kesuksesan dlsb, Randy tampil sederhana saja, lebih banyak diam, saat bersalaman dengan para sepupunya yang perempuan tidak bersentuhan tangan.

Bapaknya tidak tahan tidak berkomentar, “Randy, kamu tahu pasti bahwa kali ini ada keanehan di keluarga besar Danujaya. Sebelumnya tak pernah ada yang amat aneh. Kita dilahirkan dari keluarga yang beragama dengan moderat. Kita beragama sesuai dengan keumuman masyarakat.” (hlm. 8).

Demikian pula dengan tokoh Cikal. Dia memilih berkonflik dengan kawan-kawan bandnya demi mencari jawaban atas kepenatannya, kegelisahannya, kehampaannya. Kawan-kawannya tidak bisa memahami alur pikiran sang bintang itu belakangan ini. Cikal berubah. Keberlimpahan materi, popularitas, sanjungan para fans tidak lagi memuaskannya. Malah semua itu berbalik menjadi tanda tanya yang menyiksa: inikah yang sesungguhnya kukejar selama ini?

Dan Cikal selalu merasa diikuti oleh bayangan Najwa dengan pesan-pesan spiritualitasnya. Cikal tergeragap dengan semua itu. Najwa: sosok yang dikaguminya di kampusnya dulu, sebelum Cikal memilih hengkang dari kuliah. Najwa: sosok muslimah yang taat, yang membuat Cikal merasa berjarak tapi sekaligus dekat dengannya. Najwa: kepadanya kemudian, di dalam kisah, Cikal jatuh hati.

Cikal menulis di catatan hariannya, “Kau kembali memperingatkanku. Aku hampir saja sadar saat itu. Ya, akulah si pemburu dunia dan sudah kudapatkan dunia itu, tapi pada saat yang bersamaan, dunia pun mendapatkanku. Aku digenggamnya. Aku tak bisa bernapas. Aku jadi tahanan. Suaraku adalah gaung yang tak berarti. Kau pun tak jua menjadi pendengar suara jiwa terkerangkeng ini. Tapi tidak hanya itu, aku ingin mencari orang yang mendengarku dengan jiwa, buka dengan telinga. Adakah kau ‘kan kutemukan lagi? Atau makhluk semacammu? Sungguh, aku tak temukan selainmu atau aku belum dipertemukan-Nya. Aku pesimis. Sungguh karena aku betul-betul tak bisa keluar dari penjara diriku dan duniaku.” (hlm. 112).

Dalam perkembangan kisah, tatkala Randy dan kawan-kawannya menggelar aksi Zaitun, aksi damai solidaritas untuk Palestina, Cikal akhirnya turut masuk ke dalam pusaran gelombang pergerakan itu. Cikal menyumbangkan kebolehannya menyanyi di atas panggung. Perlahan Cikal menemukan titik fitrahnya di hadapan Tuhannya.

Cahaya perubahan atau hidayah memang bagaimanapun harus diupayakan. Meski ia merupakan suatu misteri yang sepenuhnya bergantung kepada kehendak Allah. Perubahan yang hakiki ialah perubahan yang dimulai dari diri sendiri. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka,” demikian firman-Nya dalam QS 13: 11.

Saat cahaya Allah dilimpahkan kepada seseorang, tidak ada siapa pun dapat menampiknya. Sesuatu yang terang itu bahkan justru mencuri perhatian. Seperti misalnya dalam kisah seorang anggota Ikhwanul Muslimin yang dalam kisah ini membuat kagum Hasan si sosialis. Yakni, tentang Hafidz, pemuda tukang kayu yang suatu saat mereparasi perabotan rumah Monsieur Salaunt, seorang pejabat Prancis di Mesir. Pada mulanya ia menolak bekerja karena ditawar harga terlalu rendah. Si monsieur marah-marah, tapi kemudian tahu bahwa harga yang ditawarkannya memang di bawah dari harga biasa. Salaunt pun kemudian menaikkan tawarannya, tapi Hafidz tidak segera menerimanya. Dia meminta syarat: orang Prancis itu harus meminta maaf dulu kepadanya.

Merasa berhadapan dengan orang kecil tak tahu diri, Salaunt marah-marah lagi. Tapi dia kemudian sadar sedang berhadapan dengan bukan orang sembarangan. Jika Salaunt tidak minta maaf, tukang kayu itu akan menulis surat ke kedutaan dan konsul Prancis, mengadukannya kepada atasan Salaunt; jika tidak ada tanggapan, si tukang kayu akan menghinanya di jalanan Mesir sehingga orang-orang akan tahu siapa sebenarnya Salaunt itu.

Orang Prancis itu pun akhirnya meminta maaf sepenuh hati kepada Hafidz. Setelah pekerjaan selesai, Salaunt memberikan upah. Uang lebih tidak diterima oleh Hafidz, dikembalikannya. “Saya tidak akan mengambil lebih dari yang menjadi hakku, agar saya tidak menjadi orang haram,” sahutnya.

Salaunt tertegun lagi. “Sungguh aneh, mengapa tidak semua putra Arab sepertimu? Apakah engkau keluarga Muhammad?” “Monsieur, seluruh kaum Muslim adalah saudara Muhammad. Hanya saja banyak dari mereka yang bergaul dengan monsieur-monsieur dan mengikuti perilaku mereka, hingga akhlaknya rusak.” Saulant lantas mengulurkan tangan, mengajak berslaman. “Terima kasih. Semoga engkau baik-baik selalu,” sahutnya.

Kisah yang direkam Imam Hasan Al-Banna di buku memoarnya itu benar-benar membuat Hasan penasaran. Dia merasa menemukan relevansi di kisah agama itu dengan pergerakan sosialisme yang selama ini dianutnya. Dari sana dia berpikir bahwa ternyata perubahan Islam sangat mungkin menyentuh segala ranah, dari soal kehidupan dasar manusia sampai soal-soal kemasyarakatan, bukan melulu berkutat pada soal keagamaan.

Dan semakin kuat gelombang itu berpusar di pikiran Hasan: tentang Islam—tentang agama—yang selama ini dicitrakan buruk dan kaku dalam bacaan-bacaan dan diskusi-diskusi yang dilahapnya. Bahwa Islam sesungguhnya tidak pernah menyalahi ketentuan-Nya sebagai rahmatan lilalamin, sebagai kebaikan untuk semua.

Tentang cinta

Ada (benih) cinta segitiga dalam novel ini. Pada peluncuran Sang Pemusar Gelombang di Jakarta (Selasa, 7/8/12), seorang hadirin bertanya: haruskah novel dakwah yang berpusar pada perikehidupan Syaikh Hasan Al-Banna ini dibumbui oleh kisah cinta? Yang dimaksud ialah kisah cinta antara tokoh Randy, Maryam, dan Cikal. (Najwa, sosok yang belakangan menghantui benak Cikal, tidak lain ialah Maryam, sesama aktivis dakwah di kelompok Tarbiyah, tempat Randy berkegiatan.)

Menanggapinya, Irfan Hidayatullah mengisyaratkan bahwa bagaimana pun novel ini memang dengan sadar dimaksudkan sebagai karya populer. Alhasil, konstruksi yang dipilih ialah konstruksi populer pula, yang antara lain ialah pengembangan kisah asmara dengan khas tertentu di antara para tokohnya. Mengenai konstruksi populer dalam novelnya ini, Irfan sekilas menjelaskannya di bagian pengantar novel melalui sebuah esai, “Menulis Novel; Petak Umpet antara Ideologi, Metafora, dan Pasar”.

Jauh-jauh hari Irfan Hidayatullah yang juga merupakan dosen sastra ini pernah mewacanakan konstruksi populer dalam karya-karya dakwah, yakni dengan menyebut karya-karya (remaja islami) tersebut sebagai Ispolit atau Islamic popular literature. Poin paling penting dari Ispolit ialah terdapatnya pelbagai negosiasi: negosiasi terhadap pasar, nilai-nilai Islam, juga terhadap sang penulis atau terhadap sastra itu sendiri. Menurutnya, “Justru jika negosiasi itu semakin tersembunyi dan susah dilacak, bukan lagi Ispolit. Adapun mengenai bagus tidaknya sebuah negosiasi dikemas itu adalah hal lain. Jadi, selama negosiasi ini masih ada, selama itu pula istilah Ispolit masih bisa dipertahankan. Oleh karena itu, para penulis Ispolit yang masih konsisten mereka bukan menurunkan isi negosiasinya, tetapi meningkatkan atau mendewasakan cara bernegosiasi.”

Hasan Al-Banna dalam novel

Sebagai pembaca saya pun mencari sosok yang sangat penting di novel ini. Dia Imam Hasan Al-Banna itu. Seseorang yang lahir di Mahmudiyah, Buhairah, Mesir, pada 14 Oktober 1906 dan meninggal pada 12 Februari 1949 di Kairo di tangan penembak misterius. Dia yang pada usia 12 tahun telah hafal Al-Quran. Dia yang mendirikan Ikhwanul Muslimin. Dia yang mencintai ilmu. Dia yang selama hidupnya tidak pernah lelah mendakwahkan Islam kepada semua kalangan, menyeru umat Muslim di mana pun agar dalam setiap segi kehidupannya kembali kepada Al-Quran dan Al-Hadis.

Dan sosok Hasan Al-Banna itu, di dalam novel ini, hadir secara tidak langsung. Dia hadir melalui Randy, Hasan, dan Cikal: percik-percik pemikirannya, sekelumit kehidupannya, semangatnya yang tidak pernah surut dalam menyebarkan syiar Islam. Sebuah upaya yang saya kira sangat baik dalam mengenalkan sosok seorang Hasan Al-Banna untuk kalangan pembaca yang lebih luas di Indonesia.***