Saturday, June 24, 2006

Realitas

Barangkali sebuah kebetulan, dua dari tiga cerpen yang dibahas esai ini, ialah karya pengarang Yogya, yang 27 Mei lalu, tertimpa gempa: Joni Ariadinata dan Puthut EA. Dari kabar, alhamdulillah, mereka selamat. Kita doakan bersama.

**

Bukanlah sebuah kemestian, menjadikan karya sastra sebagai jembatan untuk memahami, mencermati, dan memaknai realitas sebuah zaman. Akan tetapi, tanpa perlu memerosokkan diri pada peliknya ruang kreatif para pengarangnya, setidaknya, melalui cerpen "Beringin Cinta" Joni Ariadinata, "Seorang Gadis Tergeletak di Trotoar" M Irfan Hidayatullah, dan "Dalam Pusaran Kampung Kenangan" Puthut EA, kita disodori "kenyataan" itu: sebutlah, sisi-sisi lain realitas kekinian.

Dalam "Beringin Cinta" kita berkenalan dengan Irene, seorang mahasiswi. Kerjanya kuliah, tentu saja. Ia membawa buku-buku ke kampusnya. Namun Joni tidak menggarap habis Irene. Irene dituliskan gadis manja yang terbuai terlena oleh fasilitas dari orangtua tanpa kekang, dan lebih lanjut Joni menjadikannya batu loncatan untuk menggambarkan realitas imajinernya: sebuah kampus Sastra, dengan sebuah beringin tumbuh di tempatnya. Semua pragmatis belaka di tempat orang-orang intelek itu.

Tidak ada idealisme, boro-boro gambaran lingkungan agen perubah sebuah zaman. Semua, bahkan hingga bapak-bapak dosennya, terpuruk mencetak nilai dan ijazah, mengejar materi dan pengganjal perut belaka, bahkan syahwat. Dan Irene dan kawan-kawan mahasiswa-mahasiswinya cuma haha-hihi sepanjang hari. Sepulang kuliah, hingga larut, kita semua bisa menebaknya, sebenarnya. Dan di "Beringin Cinta" tidak ada plot yang jelas, konflik yang jelas, dst dst. Namun jejak-jejak apa yang mau dikatakan pengarang lewat kekerasan, kesemrawutan, atawa kerancakan bahasa dan ungkapan yang memang khasnya Joni, dapat tetap terendus. Hingga, walau ada aroma generalisasi yang terkesan sinis, pembaca yang menamatkan pembacaan telah tersapa: ya, itulah, realita kekinian, agar orang tahu. Namun hemat saya, "Beringin Cinta" berbeda dengan film Virgin, yang konon sama juga hendak menunjukkan realitas anak muda metropolitan zaman kiwari.

"Seorang Gadis", karya M Irfan Hidayatullah, yang kini ketua Forum Lingkar Pena itu. Sama "sederhana"-nya dengan apa yang ingin disampaikan Joni. Irfan ingin menggambarkan orang-orang kota yang nuraninya tergerus limpahan materi. Visi dan misi hidup mereka--sebutlah demikian--tidak lagi jelas: banyak paradoks yang membikin kabur. Sepasang suami istri yang terobsesi menjadikan anak mereka seorang bintang, seorang selebriti atau apalah yang cerdas luar biasa, terkenal lebih dari Dian Sastro atau Britney Spears sekalipun, kalau mungkin.

Anak gadis itu, yang bahkan namanya sudah Bintang, tumbuh sesuai plot orangtuanya. Ia cantik, cerdas, baik, dirindukan, didambakan, dst. Namun ternyata dibalik itu nurani Bintang sampai juga pada titik kritis: Mengapa dan mengapa? Mengapa aku harus begini, mengapa aku harus begitu? Dan untuk apa? Namun deretan pertanyaan eksintensialis itu buyar dan berhenti di ruang-ruang massa yang Irfan simbolkan dengan mal. Akan halnya dengan orangtua Bintang, Irfan dengan dingin menggambarkan paradoks itu: meski memerlakukan Bintang layaknya koleksi guci antik, namun kekhawatiran sang ibu terhadap Bintang kalah oleh kepuasan melewatkan pedicure di salon selama berjam-jam.

Lalu "Dalam Pusaran Kampung Kenangan", salah satu cerpen terbaik Sayembara Horison 2004. Puthut EA menjadi pencerita yang apik di sini. Dengan aroma storytelling yang kental terjaga, cerpen ini "berbicara" banyak sekali hal. Bisa jadi, apa yang hendak Puthut sampaikan ialah kegelisahannya pribadi terhadap perkembangan zaman yang menggila dewasa ini, terutama yang menimpa generasi muda. Dan perihal kegelisahan itu, rasanya tidak salah bila menyebutnya dapat mewakili sebagian besar kegelisahan manusia Indonesia yang waras. Aku pencerita di sini tengah mudik untuk menghadiri pemakaman guru mengajinya di masa kanak. Dimulai dengan kabar dari kampung itu, mengalirlah pula cerita seputar kampung dan permasalahnya, serta pandangan-pandangan "aku" terhadap segudang masalah itu. Mengapa makin jarang saja orang berkumpul di warung kopi, mengobrol hangat, bercengkrama dan seterusnya. Mengapa anak-anak muda seusia SMP dan SMU, kini menjadi "garang" dan "liar".

Yang menarik di cerpen ini, Puthut mengangkat Islam sebagai setting, yang lantas latar itu tidak berhenti sebagai latar, sebagai tempelan belaka. Namun digambarkan Islam yang telah kabur sedari awal oleh kultur masyarakat kampungnya bahkan desanya yang jumud--(desa itu terdiri dari beberapa kampung, salah satunya kampung tokoh"aku".) Guru-guru mengaji dan orang-orang tua di satu sisi sukses melestarikan ritual sholat dan pengajian, namun tidak bisa merombak kebiasaan masyarakat akan judi dan menenggak arak, terlebih kemudian terhadap maksiat lain yang lebih samar namun lebih dahsyat dampaknya: sabu-sabu, video porno. Bahkan mereka hanya bisa kebingungan tanpa mengerti melihat fenomena hp dan play station, yang menyedot minat anak-anak remaja dengan gawatnya.

"[...] warung-warung kopi begitu sepi. Anak-anak kecil sampai yang sudah besar lebih sering nongkrong di tempat play station, tempat-tempat bilyar yang mulai berjamuran, maupun menonton vcd porno. [...] Bu Pariyah salah seorang janda yang dulu berjualan nasi uduk di pagi hari, menghilang entah kemana setelah anak perempuannya yang paling buncit minggat gara-gara tidak dibelikan hp. [...]" ("Dalam Pusaran Kampung Kenangan", Puthut EA, Horison, Januari 2005).

Melalui tokoh "aku", Puthut hampir tidak "bersuara". Ia sebagai kreator, seperti kebanyakan pefiksi yang berhasil, agaknya, lebih menjaga konsistensi dalam pelukisan dan koherensi kisahan dengan tema; melepasbebaskan "aku" untuk berpikir dan berpandangan sesuai kapasitas pribadinya. Hanya beberapa ungkapan bernada pengakuan setelah panjang dan lebar penyituasian: "Mungkin sebetulnya hanya kami yang tidak gampang menerima perubahan jaman. Perubahan yang diam-diam kami ikuti, tetapi semuanya hanya dengan setengah hati. [...] Kami, aku dan teman-teman sebayaku, orang-orang yang lebih tua, sebetulnya bukannya tidak bisa mengerti, tetapi mungkin tidak mau mengerti.".

**

Bila kita mengingat "Maklumat Sastra Profetik"-nya almarhum Kuntowijoyo, kita mendapati bahwa: Sastra Profetik berhadap-hadapan dengan realitas, melakukan penilaian dan kritik sosial-budaya secara beradab. Ia adalah renungan tentang realitas. Dan dengan caranya sendiri Sastra Profetik diharapkan menjadi arus intelektual terhormat, menjadi sistem simbol yang fungsional, bukan sekedar trivialitas rutin sehari-hari dan biasa-biasa saja. Dengan lain perkataan, realitas tak mesti ditutupi, namun juga perlu dikritisi, bukan dibiarkan menjadi stagnan dan jumud.

Karenanya, hemat saya, benarlah ungkapan bahwa "sastra lebih luas dari realitas", "sastra membawa manusia keluar dari belenggu realitas", atau "sastra membangun realitasnya sendiri". Seperti dalam tiga cerpen itu, realitas kekinian memang terhidangkan, namun tak dibiarkan telanjang dan membelenggu.[]

Bandung, 1 Juni 2006
(Seiring doa untuk Yogya)

Esai ini dimuat Sabili edisi 25 th xiii Juni 2006

Sunday, June 18, 2006

LILIN


Malam 10 Juni itu saya tidak mencatat berapa lilin berubah menjadi puisi. Sebuah detail yang mungkin abai dari hitungan saya; namun tidak pada temaram ruangan itu. Saat tulisan ini masih di kepala, saya mencoba memikirkan semua-mua hal. Soal riuh rendah sore di Ledeng dan satu per satu kawan-kawan muncul terlambat. Soal embun di daun pelan menguap oleh pagi keesokan harinya, seperti doa yang hanif terbang ke langit, dari kabar kawan-kawan akhwat. Soal, ah-ah, buaya-buaya yang lucu kita sapa dan ambili gambarnya di siang Ahad itu. Soal stroberi dan jerawat entah mengapa masuk "Kamus Neruda" dan semua terlihat bahagia. Namun, terang yang pendar dari lilin-lilin itu, yang lantas hadir selebih kukuh di sekeliling saya.

Malam 10 Juni itu, saat akhirnya saya mencoba meyakinkan Kang Adew agar tidak lagi perlu mengupayakan listrik meluncur ke pondok, sebenarnya saya tengah mengocok dadu dan melempar harapan pada kawan-kawan: entah berapa totalnya lilin yang kita kemas dan malam terus beranjak tua dan saya tidak tahu apakah semua kawan bakal nyaman tanpa menatap bolam berpijar semalam saja.

Akan tetapi justru kini saya kira batalnya listrik di pondok ialah salah satu keajaiban dunia--pujilah nama-Nya, kawan. Siapa sangka acara itu mengalir menawan dan berkesan melebihi harapan--setidaknya bagi saya: ini soal pencahayaan. Mirip tontonan teater atau ruang bioskop yang dibuat gelap sepanjang pertunjukkan. Membuat mata hadirin rela digiring fokus tertentu dengan penekanan lebih. Dan malam itu di pondok itu, penekanan yang lebih bukan milik satu dua namun padu dari semua. Hingga saya lena telah menulis di undangan, bahwa pondok di Nyampai, Cikole, Lembang itu, ialah tempat yang representatif bagi kawan-kawan.

Barangkali seharusnya, di sana, saya mengawalkan tandakutip di kata representatif. Hanya saja yang berlalu sudah tersurat dan ini memang perihal pencahayaan, tentang lilin, soal lighting, yang terserak lalu terpetik dari belantara probabilitas: Evaluasi ialah waktu empuk untuk tersenyum dan menjumput bilah dan remah kenang-kenangan yang lalu.

Membaca Layla: sebuah perjalanan menafsir malam. Entah sebelah mana yang dibatasi sebenarnya. Hanya memang lilin-lilin yang menyala itu dan pondok itu menjadi setengah gelap membuat saya jatuh cinta pada detik-detiknya. Barangkali kita ingat, di langit rembulan tengah penuh. Dan layar malam itu alangkah simpuh.

Di rumah, 14 Juni 2006
[Wildan Nugraha]

membaca layla

Bismillah. Membaca Layla, sebuah perjalanan menafsir malam (awalnya hendak 3-4 Juni 2006), insya Allah Sabtu hingga Ahad, 10-11 Juni 2006. Kawan-kawan FLP Bandung, FLP Jabar, dan semua yang berminat, berkenan, berkeinginan untuk bergabung dipersilakan berkumpul ba’da ashar tanggal 10, pukul 15.30 WIB, di sekitar terminal Ledeng. Insya Allah Kang Adew Habtsa, tuan di rumah Ledeng, akan memandu keberangkatan.

Mengumpulkan sejumlah uang, dari Ledeng kita berkendaraan umum menuju Lembang, lalu lanjut menuju Nyampai, Cikole. Di sana telah menunggu sebuah pondok yang cukup representatif bagi ikhwan dan akhwat. Dan sejumlah acara akan bersama kita rangkai hingga matahari Ahad naik ke langit: Membaca Layla: "Eksplorasi Ada", "Eksplorasi Diri", "Kamus Neruda", "Air Mata Buaya", "Tausiyah (yang) Puitis".

Untuk itu, kawan-kawan memerlukan perbekalan per orang: sepaket nasi siap makan (untuk Sabtu malam); camilan, makanan instan, air matang dalam botol sebanyak yang kawan butuhkan; perlengkapan tidur, mandi dan makan, obat-obatan; buku sajak dan satu-dua puisi yang dihapal; lima batang lilin; uang transport 12.300 rupiah. Dan beberapa alat tambahan bagi yang memiliki: kompor praktis berikut alat masaknya. Dan perbekalan lainnya: silakan kawan pikirkan dengan matang, dan bawa apa pun sesuai kebutuhan.

Membaca Layla, sebuah perjalanan menafsir malam, insya Allah.

Wassalam,

Wildan Nugraha

Dibalik Membaca Layla:
Koordinator Umum: Adew Habtsa (022-2000754)
Koordinator Acara: Lian Kagura (081802141070/ email: liankagura@yahoo.com)
Humas/Informasi: Hendra Veejay (085624124181/ email: hendra_veejay@yahoo.com)
Dokumentasi: Riki Cahya (08156219165/ email: rikicahya@yahoo.com)

Pengagum Taman Bunga

Wildan Nugraha

IA menyalakan bolam bertudung di atas meja tulisnya. Setelah bunyi saklar, tidak terdengar sesuara selain malam di luar jendela. Dengan pensilnya ia merangkai sketsa sebuah taman, yang selalu jatuh di matanya dalam perjalanan pergi dan sepulang bekerja.

**

MAAF barangkali saya mengganggu Anda. Walau saya ragu namun ada yang mendudu. Begini. Saya tahu tak kan ada cara tertepat mengungkapnya. Taman kecil berbunga yang mengelilingi saya, kini kehilangan daya tarik serta pukaunya berkat perusahaan mereka memajang nama produk itu: Kutilista.

Tentu niat mereka baik dan wajar. Profesional dan ditingkah dedikasi. Imbal balik atawa kompensasi, serta prinsip simbiosis mutualisme, saling menguntungkan, adalah halal dan proporsional malah menyehatkan. Karena bekerja mencari nafkah adalah berjarak dengan ruang bakti bersih-bersih tepian jalan kompleks. Akan halnya memugar taman di sekelilingku bukan keraguan saya: bunga-bunga itu indah nan asri dengan sentuhan komposisi mumpuni, mengelilingi saya berlapis-lapis dengan variasi dan warna-warni di sana-sini. Hasil tangan ahlinya yang sanggup melihat dengan mata penikmat pencari suasana. Bukan sekadar sebagai pekerja dengan tingkat kebosanan akut, tapi kerja kreatif bak seniman penggali rasa.

Hanya saya curiga, bila benar, mungkinkah ada dua tangan di situ: yang berikutnya khusus mengejar keterbacaan Kutilista dengan amat-sangat mencolok mata mematok imajinasi: demi kejar tayang atau selera perusahaan mereka belaka? Sebentar, tidak santunkah kalimat saya?

Huruf-huruf besar, sedikit lebih tinggi dari badan Anda barangkali, yang berdiri tegak itu mengingatkan saya pada para preman yang tidak baik hati, senang kasar-kasaran, mengganggu. Lalu catnya, komposisi warnanya, jauh dari kesan lembut dan cerdas, yang saya gemari--bukan semacam selera rendahan nan frontal. Tanpa mengajak saya berembuk, mereka menghapus sihir ambigu yang menawan dengan kesahajaan, dan kini puisi telah terpangkas dari taman kecil yang mengelilingiku. Saya merasa tak lain papan reklame kaku dan angkuh kini. Yang memotong sedari awal wisata pikiran sesiapa yang menambatkan matanya pada saya, pada seputaran saya. Semacam kemunduran yang samar namun tetap teraba lantas diabaikan begitu saja, sebab terlapisi kemajuan lain yang bersicepat di zaman ini yang tanpa rehat dan melenakan. Kini lebih praktis lebih baik, cukup dengan nalar sejenak, tidak usah dalam-dalam atau mengawang bertinggi-tinggi apalagi menggigir-gigir, apa yang dihendak pun tentu sampai--tidak usah luar biasa segala, yang penting rapi; gagahi saja makna dan suasana. Begitu mungkin mereka memerjuangkan estetika Kutilista--maaf, barangkali saya tersepuh oleh seorang pengkhidmat suasana namun bicaranya sinis sekali, yang beberapa pekan sebelum sekelilingku dipugar pernah duduk-duduk ngobrol sampai suntuk dengan kawannya di dekatku.

Saya bukannya mau merayakan kepribadian aneh-aneh, apalagi meminta Anda berpolah nyeleneh. Saya hanya demikian yakin bahwa saya--sedari awal tumbuh hingga besar kini, adalah penikmat taman bunga. Bukankah wajar mata memandang yang patut. Karena kepatutan ialah kesahajaan yang tak lain keindahan. Karena keindahan kata lain kebenaran. Keindahan mengambil tempat di seberang pemaksaan, sekalipun demi menggaji karyawan. Ha-ha-ha.

Begitu, saudaraku. Maaf, sekali lagi, bila saya mengganggu; bila saya menyoal ihwal dangkal wilayah mata--yang justru sepulang ngantor, mata Anda selalu jatuh di cecabangku yang rimbun; di mataku; lalu pada fasilitas umum di seputaranku yang mereka manfaatkan itu, yang mereka tanami Kutilista seolah pagar bagiku. Saya, Anda, bahkan pula mereka--sebenarnya, sama-sama pengagum taman bunga.

**

IA menyudahi pensilnya, meletakkannya di tepi kertas. Ia merasa sketsanya tidak pernah selesai. Selalu ada sketsa baru tiap malam, yang ingin dilipatnya bersayap, diterbangkannya dalam ruangan yang temaram oleh bolam bertudung di atas meja itu.

Bandung, 2006

(Pernah dimuat harian Radar Bandung, 2006)