Friday, August 21, 2015

Mendengar Sepi

Kita kerap enggan mendengar sepi. Padahal dalam sepi mungkin ada rahasia yang membuat kita bahagia. Dalam sunyi bisa jadi ada warna-warna terungkap dengan meriahnya sehingga hidup tambah bermakna. Tapi begitulah kita sering menghindar dari sepi. Kita jarang bertemu dengannya dan memilih terbenam di keramaian, di kerumunan, meski tanpa keintiman.

Padahal sepi memanglah diperlukan. Jeda itu harus ada dan memang selalu ada meski barangkali kita taksadar akan keberadaannya. Dalam peristiwa turunnya hujan misalnya. Di antara satu titik ke titik air beikutnya selalu terkandung jeda, selalu terdapat sepi. Tidak pernah tidak begitu, sebesar selebat sehebat apa pun kejadian hujan itu. Kemudian juga dalam sebuah alunan lagu misalnya. Selalu ada jeda ada sepi di sela-sela liriknya. Sebab kalau tidak ada jeda diamnya, mana akan enak terdengarnya, apa pun jenis lagu dan dari daerah mana pun penyanyinya.

Demikianlah kita lebih suka menganggap sepi tiada. Kita lebih suka menganggap sunyi tiada. Kita lebih suka dengan hal-hal menyenangkan saja. Sementara, begitulah, permasalahan kita anggap sepi yang tiada itu. Problematika hidup kita anggap sunyi yang tiada itu. Semuanya melulu kita simpan bukan pada tempatnya alias kita hindari. Padahal bisa jadi permasalahan yang kita temui ialah jalan buat kita menjadi pribadi yang lebih dewasa dan tangguh lagi. Lewat kegetiran hiduplah justru Sang Hidup mengajarkan kepada kita bagaimana sebenarnya kehidupan itu.

Maka dengarkanlah sepi dan akrabilah sunyi. Hadapilah dengan sesungguh-sungguhnya apa yang kerap kaubilang permasalahan hidup. Apa yang kauanggap sepi dan sunyi yang membosankan dan bahkan menyiksa itu. Sebab seperti hujan, di tiap titiknya selalu ada jeda yang mengiringi. Di setiap kesulitan selalu ada kemudahan yang menyertainya.

Maka dengarkanlah sepi. Sebab banyak bebunyian di sana, sebenarnya.