Monday, May 28, 2012

KE CIANJUR, 19 MEI


Dan Sabtu, 19 Mei, pagi jam 8, saya sampai di Cianjur. Kapan terakhir saya ke Cianjur? Rasanya sudah lama. Kota kecil yang hangat. Di sini waktu seperti merambat pelan. Pegal dua jam perjalanan sepeda motor, dengan sisa flu yang masih nempel, dibayar dengan suasana kota yang apik dan terang pagi itu.

Toko-toko dengan bangunan model lama di kiri kanan jalan. Orang-orang Sabtu pagi berjalan-jalan di trotoar. Tukang becak saya sapa; saya yakin dia tahu jalan terpendek menuju masjid agung. Dia tersenyum. Kacamata hitam model lama, besar, menyembunyikan matanya. (Saya bisa bercermin di kacamata itu.) Dua stopan ke depan, belok kanan, katanya.

Tiba-tiba itu pagi pada Cianjur saya jatuh hati. Diterangi matahari pagi, masjid agung terasa megah dan cerah. Di dekatnya alun-alun Cianjur. Air mancur di sebelah tengahnya. Di seberang jalan ada kantor pos. Saya suka warna oranye kantor pos. Dan pohon-pohon besar, ribuan-jutaan jumlah daun hijaunya, bergoyang-goyang bermain angin semilir. Dari arah sekolah SMA tak jauh dari sana, ada bebunyian drum band.

Tidak banyak teman-teman FLP Cianjur yang berkumpul pagi itu. Ada Deva, Resti, Annisa, Hade, dan beberapa kawan lain yang datang kemudian. Siju, ketua FLP Cianjur, sedang sakit. Dua bulan sebelumnya dia mengabari saya: Kang, Siju sakit. Semoga lekas sembuh, Siju, kubilang. Siju sakit typus, kata kawan-kawan FLP Cianjur. Sempat merasa sembuh, tapi kemudian kembali kambuh. Barangkali kecapaian.

Tanggal 19 Mei itu, Kang Yadi, pengurus FLP Jabar, tidak bisa hadir di masjid agung. Dia bilang sedang ada acara dari pagi hingga siang. Menjelang matahari meninggi, setelah kumpul dengan FLP Cianjur selesai, Yadi mengontak, bertanya apakah saya masih di Cianjur. Saya sedang makan mie ayam bareng Hade, tidak terlalu jauh dari masjid agung. Kubilang, oke, Kang Yadi, aku ingin mampir ke tepatmu. Hade mau turut.

Kang Yadi tinggal dekat bendungan Saguling. Kalau dari arah Bandung, kita belok kiri sebelum Jembatan Rajamandala. Tempat Kang Yadi secara administratif masuk Kabupaten Bandung Barat, tapi kami orang Cianjur, gitu kata Kang Yadi. Terasa rada jauh jarak dari jalan raya ke tempat Kang Yadi di Saguling. Jalan naik turun, tapi aspalnya sudah bagus. Kanan kiri kebun cokelat dan kopi. Kalau malam tentu saja sepi.

Lalu kami sampai di depan sungai besar, Citarum. Arusnya deras. Jembatan gantung warna merah melintang panjang ke seberang sana, hampir seratus meter. Kawat-kawatnya besar, alas jembatannya bilah-bilah kayu.

Kang Yadi tinggal di seberang sana. Desa Cihea, Kampung Bantar Caringin, Kecamatan Haurwangi, Cianjur. Ada seratusan lebih rumah. Penduduknya sekitar seribuan jiwa. Macam-macam pepohonan menyembul di antara rumah-rumah itu. Latarnya bukit dan hutan menghijau. Saya takjub. Saya selalu senang dengan suasana desa.

Dan tibalah kami di rumah itu. Ada seorang kakaknya. Orang tua Kang Yadi sedang di kebun; mereka petani, mengolah hasil bumi, sayur-mayur, umbi-umbian, yang mereka jual ke pasar. Dan, hey, ada harta karun di desa kecil seberang sungai ini. Di tembok depan rumah, dipasang spanduk Saung Baca KaYeDe. Di ruangan depan rumah itu, dua lemari penuh buku. Ada banyak novel, buku agama, filsafat, buku-buku kajian ilmu, dan beragam bacaan remaja. Beberapa buku yang ditulis Kang Yadi nyelip di sana. Jam buka Saung Baca KaYeDe: saban sore hari Senin, Rabu, dan Jumat. Anak-anak sekitar sini pengunjungnya. Mereka banyak baca novel-novel dan buku remaja.

Saya buka lemari buku yang berpintu kaca. Di antara buku yang ditata rapi itu, ternyata ada buku yang sudah lama ingin saya baca. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial karangan Peter L Berger. Dan ada buku yang belum jadi juga kubeli kalau saya mampir ke pasar buku: Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.

Kang Yadi ngajak kami makan di pinggir Citarum. Nasi liwet dalam kastrol. Lauknya seadanya, tapi nikmat luar biasa. Ikan asin, ikan teri, goreng tahu, sambal, dan kerupuk yang dia ambil dari warung kakaknya di sebelah rumahnya. Alas makan: daun pisang dua lembar. Perut saya minta nambah terus. Saat kami makan, ada perahu karet lewat. Di sini sering ada orang berolahraga arung jeram.

Di kejauhan, dari atas batu tinggi, terlihat anak kecil meloncat nyebur ke sungai. Pasti bocah itu sudah kenal lika-liku sungai: letak batu-batu besar yang sembunyi di bawah air, arus air yang berbahaya kapan saja datangnya. Di air jernih rasanya ingin juga saya berenang, tapi mungkin tidak sekarang.

Hari beranjak sore. Sebelum balik ke Bandung, saya ambil buku dari rak Kang Yadi. Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu.***

PS: Sekarang Siju dirawat di RS Cianjur; kondisinya kritis. Semoga Siju sehat kembali.

Friday, May 11, 2012

MAIN-MAIN YANG SERIUS


"Great things are done by a series of small things brought together."
(Vincent van Gogh)

Penyair Belanda, Hagar Peeters, menulis sebuah puisi bejudul “Janji”. Ia sederhana saja sebenarnya dan bahkan terkesan bermain-main, tetapi sebuah puisi yang berhasil selalu meninggalkan gaung di relung hati pembaca. Dan “Janji”, menurut saya, ialah puisi yang demikian.


The Café Terrace on the Place du Forum,
Arles, at Night
(Vincent van Gogh, 1888)
Aku lirik dalam “Janji” tengah menanti kekasihnya di sebuah restoran di sebuah kota. (Ia bisa Amsterdam atau Jakarta, Cairo atau Canbera; Hagar Peeters tidak menggiringnya secara spesifik, melainkan secara universal: puisi ini berbicara tentang manusia urban.) Tapi sang kekasih tidak kunjung datang padahal mereka telah saling berjanji. Lantas pikiran sang aku lirik pun mengalir ke mana-mana.

Barangkali sakit atau tertabrak trem, pikirnya. Itu logis, sangat mungin terjadi, di lingkungan keseharian mereka—meski dugaan tersebut ekstrem: apakah kini kekasihnya telah meninggal sehingga tidak bisa memenuhi janji? Atau telah terjadi hal-hal lain yang lebih “ringan”: karena ada orang menyapa di tengah jalan sehingga ia tertambat, atau lampu stopan tidak beranjak dari warna merah, atau ia bertengkar dengan bosnya di kantor lalu dipecat dan ingin menyepi sendirian saja, atau ia keasyikan menonton televisi, atau ia menunggu di tempat yang salah dan tidak ada telepon di dekatnya, atau....

Hagar piawai menyusun narasi imajinatif dalam puisinya. Ia mengeksplorasi segala kemungkinan yang dapat menimpa sosok kekasih yang dinanti itu. Lalu dengan jeli Hagar menjadikan tiga bait terakhir puisinya sebagai klimaks dan merupakan bagian sangat penting dalam “Janji”. Barangkali—kemungkinan terakhir/ yang tak terpahami dan tak terduga—/ dia tak lagi mencintaiku. Ya, penyair muda Belanda ini, Hagar Peeters, mengemas kuat gagasan cinta dalam “Janji”.

Kita mungkin bisa sepakat: berbeda dengan banyak perkara lain yang materialistik, cinta ialah energi hidup yang sulit dirasionalisasikan. Dalam “Janji”, Hagar menggambarkan hal itu. Umat manusia boleh melangkah jauh ke depan di dunia maju. Berpikir dan bertindak tanduk modern. Semua diandaikan dapat dihitung, dikalkulasi, dan diprediksi sedemikian rupa demi meraih kehidupan yang lebih baik. Tetapi, cinta agaknya selalu berhasil luput dari urusan matematis: ia bukan buat dihitung-hitung dan diduga-duga, melainkan lebih untuk dihayati dan dijaga. Ia hadir menyapa setiap orang kapan dan di mana saja berada, kemudian menawarkan sesuatu kepada mereka: keutuhan sebagai manusia.

Oleh karenanya, menurut saya, meski bernuansa humor dan bermain-main, “Janji” menjanjikan sesuatu yang serius: nilai transendensi dan spiritualitas manusia urban kontemporer. “Janji” yang melampaui ego zaman. “Janji” yang merindukan kekuatan-kekuatan di luar kuasa nalar. Saya teringat perkataan Vincent van Gogh, pelukis post-impresionis tersohor dari Negeri Tulip itu: But I always think that the best way to know God is to love many things.

Kita tidak pernah tahu apakah pasangan kekasih dalam “Janji” pada akhirnya berjumpa atau tidak di tempat yang telah mereka sepakati itu. Tapi memang bukan itu agaknya yang menjadi titik tekan “Janji” pada akhirnya. “Janji” Hagar mungkin memang meminjam hal-hal kecil keseharian manusia urban dengan ringannya, tapi larik-larik terakhir itu mengantarkan kita pada hal besar dan penting. Saya pun lagi-lagi teringat Vincent van Gogh: Great things are done by a series of small things brought together.

Wildan Nugraha

Janji - Hagar Peeters


Dia tak muncul.
Barangkali sakit atau tertabrak
trem, barangkali orang lain
menyapanya. Barangkali dia lupa jam tangannya
atau jam tangan lupa menunjukkan waktu.
Barangkali mobilnya tak mau menyala
atau rusak di tengah jalan.
Barangkali ada yang meneleponnya
tepat sebelum berangkat,
dengan kabar dia harus ke kremasi
atau bahwa ibunya meninggal.
Barangkali dia bertemu kenalan lama.
Barangkali dia sedang bertengkar di tempatnya kerja
kemudian dipecat dan menyembunyikan kepala
di bawah bantal. Barangkali jembatan membuka,
juga yang berikutnya.
Barangkali lampu lalu-lintas tetap merah.
Barangkali kartu banknya ditelan mesin uang
atau di tengah jalan dia lupa dompetnya.
Barangkali dia kehilangan kaca mata
tak bisa berhenti membaca
ada acara di TV yang ingin dia tonton sampai tamat
pintu rumahnya tidak bisa dikunci
dia kehilangan gepokan kunci,
dan tiba tiba anjingnya mulai muntah.
Barangkali tak ada telepon di sekitarnya,
alamat restorannya tak bisa dia temukan
atau dengan tak sengaja dia menunggu
di tempat berbeda.
Barangkali—kemungkinan terakhir
yang tak terpahami dan tak terduga—
dia tak lagi mencintaiku.

(Terjemahan Linde Voûte dan Agus R. Sarjono)


AFSPRAAK

Hij is niet op komen dagen.
Misschien werd hij ziek of liep hij
onder de tram, misschien sprak een ander
hem aan. Misschien vergat hij zijn horloge
of vergat het horloge hem de juiste tijd te geven.
Misschien wilde zijn auto niet starten
of begaf die het halverwege.
Misschien belde iemand hem juist voor hij vertrok,
met het bericht dat hij naar een crematie moest
of dat zijn moeder is overleden.
Misschien kwam hij een kennis van vroeger tegen.
Misschien had hij ruzie op zijn werk,
is hij ontslagen en heeft hij
zijn hoofd onder een kussen begraven.
Misschien stond de brug open, en ook de volgende.
Misschien bleef het stoplicht op rood staan.
Misschien heeft de pinautomaat zijn pasje ingeslikt
of bleek hij onderweg zijn portemonnee vergeten.
Misschien was hij zijn bril kwijt
kon hij niet stoppen met lezen
was er een programma op tv dat hij af wilde zien
kreeg hij zijn huisdeur niet op slot
kon hij nergens zijn sleutelbos vinden,
en begon plotseling zijn hond over te geven.
Misschien was er geen telefoon in de buurt,
kon hij het restaurant niet vinden
of zit hij per vergissing elders te wachten.
Misschien—de laatste onbegrepen
en onvoorziene mogelijkheid—
houdt hij niet langer van mij.


Tentang Penyair

Hagar Peeters lahir di Amsterdam, Belanda, 1972. Dia menempuh studi Sejarah Kebudayaan, Universitas Utrecht dan memenangkan the National Thesis Award 2001 untuk tesis terbaik yang ditulis di Belanda. Topik tesisnya adalah “Humanisasi Pengadilan Kriminal Belanda Sejak 1945”. Pada Mei 2002, sejarah biografis yang berdasar pada tesisnya akan diterbitkan. Pada 1999 terbit kumpulan puisinya yang pertama, Genoeg Gedicht over de Liefde Vandaag (‘Cukup sekian Puisi tentang Cinta Hari Ini’). Pada 2000, dia masuk nominasi dalam NPS Culture Award. Hagar Peeters banyak menampilkan sajak-sajaknya di Belanda. Pada Mei 2000, dia tampil membacakan sajak-sajaknya di Kepulauan Antilla (Dutch Antilles).