"Great things are done by a series of small things brought together."
(Vincent van Gogh)
Penyair Belanda, Hagar Peeters, menulis sebuah puisi bejudul “Janji”. Ia sederhana saja sebenarnya dan bahkan terkesan bermain-main, tetapi sebuah puisi yang berhasil selalu meninggalkan gaung di relung hati pembaca. Dan “Janji”, menurut saya, ialah puisi yang demikian.
![]() |
The Café Terrace on the Place du Forum, Arles, at Night (Vincent van Gogh, 1888) |
Barangkali sakit atau tertabrak trem, pikirnya. Itu logis, sangat mungin terjadi, di lingkungan keseharian mereka—meski dugaan tersebut ekstrem: apakah kini kekasihnya telah meninggal sehingga tidak bisa memenuhi janji? Atau telah terjadi hal-hal lain yang lebih “ringan”: karena ada orang menyapa di tengah jalan sehingga ia tertambat, atau lampu stopan tidak beranjak dari warna merah, atau ia bertengkar dengan bosnya di kantor lalu dipecat dan ingin menyepi sendirian saja, atau ia keasyikan menonton televisi, atau ia menunggu di tempat yang salah dan tidak ada telepon di dekatnya, atau....
Hagar piawai menyusun narasi imajinatif dalam puisinya. Ia mengeksplorasi segala kemungkinan yang dapat menimpa sosok kekasih yang dinanti itu. Lalu dengan jeli Hagar menjadikan tiga bait terakhir puisinya sebagai klimaks dan merupakan bagian sangat penting dalam “Janji”. Barangkali—kemungkinan terakhir/ yang tak terpahami dan tak terduga—/ dia tak lagi mencintaiku. Ya, penyair muda Belanda ini, Hagar Peeters, mengemas kuat gagasan cinta dalam “Janji”.
Kita mungkin bisa sepakat: berbeda dengan banyak perkara lain yang materialistik, cinta ialah energi hidup yang sulit dirasionalisasikan. Dalam “Janji”, Hagar menggambarkan hal itu. Umat manusia boleh melangkah jauh ke depan di dunia maju. Berpikir dan bertindak tanduk modern. Semua diandaikan dapat dihitung, dikalkulasi, dan diprediksi sedemikian rupa demi meraih kehidupan yang lebih baik. Tetapi, cinta agaknya selalu berhasil luput dari urusan matematis: ia bukan buat dihitung-hitung dan diduga-duga, melainkan lebih untuk dihayati dan dijaga. Ia hadir menyapa setiap orang kapan dan di mana saja berada, kemudian menawarkan sesuatu kepada mereka: keutuhan sebagai manusia.
Oleh karenanya, menurut saya, meski bernuansa humor dan bermain-main, “Janji” menjanjikan sesuatu yang serius: nilai transendensi dan spiritualitas manusia urban kontemporer. “Janji” yang melampaui ego zaman. “Janji” yang merindukan kekuatan-kekuatan di luar kuasa nalar. Saya teringat perkataan Vincent van Gogh, pelukis post-impresionis tersohor dari Negeri Tulip itu: But I always think that the best way to know God is to love many things.
Kita tidak pernah tahu apakah pasangan kekasih dalam “Janji” pada akhirnya berjumpa atau tidak di tempat yang telah mereka sepakati itu. Tapi memang bukan itu agaknya yang menjadi titik tekan “Janji” pada akhirnya. “Janji” Hagar mungkin memang meminjam hal-hal kecil keseharian manusia urban dengan ringannya, tapi larik-larik terakhir itu mengantarkan kita pada hal besar dan penting. Saya pun lagi-lagi teringat Vincent van Gogh: Great things are done by a series of small things brought together.
Wildan Nugraha
No comments:
Post a Comment