Thursday, May 28, 2009

Seeking Truth Finding Islam di Kamisan FLP Bandung


Diskusi Kamisan FLP Bandung
4 Juni 2009 pukul 16.00-18.00 WIB di selasar timur Masjid Salman ITB

Bincang buku:
SEEKING TRUTH FINDING ISLAM: Kisah Empat Mualaf yang Menjadi Duta Islam di Barat
Penulis: Anwar Holid
Penerbit: Mizania, 2009
Halaman: 184
Kategori: Biografi

Buku itu nanti coba dibahas sama Jaka Arya Pradana (Mahasiswa ITTelkom)
Buat kawan-kawan yang berminat ditunggu kedatangannya
Informasi: Dedi 08197932103, Wildan 0817613420

Tuesday, May 19, 2009

Negosiasi Sastra dan Industri

BERWAJAH dan berwujud pas-pasan, Minni ialah seorang gadis introver yang gemar membaca dan menulis dalam kesendirian. Ibunya membesarkan Minni seorang diri tanpa suami.

Sementara itu, dengan orang tua yang berkelimpahan materi, Meggy ialah gadis cantik yang cerdas dan kritis. Juga dia senang membaca. Namun, Meggy pandai bergaul dan tidak pernah ketinggalan tren.

Lalu ada Micky. Datang dari keluarga kecil yang harmonis dan cukup religius, dia adalah siswa SMU yang dicap aneh oleh kawan-kawannya. Micky merugi tidak pacaran atau sekadar nongkrong di mal, malah ia kerap menyepi dengan buku di kamarnya di malam Minggu.

Minni, Meggy, dan Micky. Tiga tokoh utama dalam Diary Minni, sebuah novel remaja karya Irfan Hidayatullah (2005), Ketua Umum Forum Lingkar Pena. Lewat novel ini, Irfan seperti ingin menggambarkan kegundahgelisahan remaja perkotaan dalam pencarian identitas. Ya, dalam novel yang tidak terlalu tebal ini, 152 halaman, terangkum beberapa karakter tipikal remaja perkotaan zaman kiwari dengan berbagai fenomenanya.

Misalnya, ada wacana tubuh di situ, tentang cantik atau tidak cantik. Ada budaya pop dengan MTV dan sebangsanya, siapa yang gaul dan tidak gaul. Juga ada fenomena broken home, alienasi, orientasi seks, keperawanan, dan pelbagai fenomena lainnya yang lazim didapati pada masyarakat kota yang disebut modern. Pun, Irfan memasukkan wacana kereligiusan dan spiritualitas dalam novel tipisnya itu.

Nilai-nilai ditemukan Minni dalam bacaannya yang luas, dari Kuntowijoyo, Ahmad Tohari, Joko Pinurbo, Afrizal Malna, hingga Pramoedya, TS Eliot, dan banyak lagi. Banyak konsep dan wacana bertebaran yang dapat diendus dalam Diary Minni, meski cukup terjaga dalam balutan ceritanya. Termasuk soal Islam dalam cernaan para tokohnya yang berusia remaja.

Ya, barangkali Diary Minni dapat diambil sebagai salah satu contoh kecenderungan sastra islami populer ala FLP. Selain Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman E Shirazy, tentu saja, yang dikenal luas di masyarakat. Benang merah yang bisa ditarik dari karya-karya mereka itu, ada kepedulian untuk menyampaikan gagasan lewat tulisan, lewat cerita, atau sebutlah, lewat sastra. Dan yang mereka ambil adalah jalur populer, jalur yang menjanjikan lebih banyak pembaca ketimbang sastra serius.

Gerakan cakrawala
Yang tengah berlaku bagi Minni, Meggy, dan Micky barangkali adalah sebuah bentuk dialektika. Sebuah dialog pencarian yang sebenarnya tidak bisa dibendung, untuk lantas menemukan bentuk-bentuk identitasnya yang tertentu. Sebuah identitas yang disadari. Identitas di dalam belantara kota.

Seperti itulah juga barangkali komunitas pengarang itu. Menuju sebuah identitas yang disadari itu, pengurus FLP menggiatkan Gerakan Cakrawala, gerakan membaca karya dan wawasan kebudayaan lainnya. Sebab, terburu-buru berpuas diri tentu bukan hal yang menguntungkan. Penulis-penulis FLP kini bukan saja mereka yang hanya baru ingin bisa menulis. Mereka adalah para Minni, Meggy, dan Micky yang mencoba melongok keluasan dunia terhampar di luar sana lewat jendela teks, atau lewat, sebutlah, sastra.

Maka, digelar rangkaian diskusi umum di berbagai kota. Salah satunya di Bandung, tempat cabang FLP juga hadir. Cukup menarik, sebab diskusi yang ditajuki Sastra dalam Budaya Massa itu hendak merespons sebuah polemik di sebuah surat kabar mengenai FLP itu sendiri. Tentang keluasan, keberbagaian, dan kemendalaman makna sastra islam yang terkesan tereduksi oleh kehadiran FLP dengan karya-karyanya yang pop.

Diskusi yang diselenggarakan di Auditorium Masjid Salman, ITB, 22 Maret 2008, itu menghadirkan Yasraf Amir Piliang, Safrina Noorman, dan Irfan Hidayatullah. Yasraf, pemikir pada Forum Studi Kebudayaan, FSRD ITB, membawakan makalah Sastra dan E(ste)tika Massa; Safrina Noorman, dosen bahasa Inggris UPI, dengan makalah berjudul Membaca dengan Sikap; dan Irfan Hidayatullah mengajukan Ispolit, Sebuah Negosiasi Budaya.

Yasraf membidik perbedaan sastra tinggi (adiluhung) dan sastra populer (yang lahir dari rahim budaya massa dan dikonotasikan berkelas rendah), yang pemikiran-pemikirannya dapat terjembatani oleh dialog yang kritis dan terbuka.

Dari sisi pendidikan sastra, Safrina antara lain menekankan agar seorang pembelajar memanjakan dirinya justru dengan menekuni keberagaman teks sastra, sebagai salah satu cara untuk meningkatkan sikap kritis.

Sementara itu mengutip Irfan yang mengajukan Ispolit (Islamic Popular Literature), memang bila terjebak pada simulakrum industri, negosiasi budaya yang dimaksud Ispolit menjadi sangat banal dan tidak menyentuh lagi.

Dari Bandung, rangkaian Gerakan Cakrawala pun terus berlanjut ke FLP di kota kota lain. Itu mungkin seperti Minni, Meggy, dan Micky. Mereka terus berdialektika.***

Wildan Nugraha

(Media Indonesia, Minggu, 17 Mei 2009)

Merayakan Literasi

Oleh Wildan Nugraha

FORUM Lingkar Pena lahir dari sebuah kerinduan masyarakat perkotaan akan keberislaman dan pesan-pesan religiusitas yang mudah dicerna.

Mereka adalah santri, tetapi bukan santri dalam pengertian tradisional dengan tradisi pesantrennya. Mereka rata-rata belajar ilmu-ilmu nonkeagamaan di kampus dan sekolah. Tempat mereka belajar dikepung mal.

Dalam mempelajari Islam, mereka membaca buku-buku yang terbatas, mengikuti kursus-kursus yang singkat, menyimak acara bincang-bincang televisi dan radio, rekaman video, dan belakangan membuka laman-laman internet. Pesantren mereka merupakan pesantren virtual.

Semangat untuk belajar Islam itu bergayut dengan kesenangan manusia untuk bercerita (dalam rangka berkomunikasi), terutama dengan berfiksi. Ya, mereka sebenarnya tidak terlalu peduli dengan sastra atau bukan sastra.

Tidak mau ambil pusing dengan istilah sastra populer atau serius. Mereka hanya mengekspresikan pengalaman keseharian dalam menjalani kehidupan di perkotaan dengan segala fenomenanya, berikut paradoks dan kontradiksinya. Misalnya, mengenai gampangnya mereka melahap materimateri keagamaan yang telah dipadatkan, disarikan, diformulasikan itu. Mereka adalah para santri kota.

Helvy Tiana Rosa sadar akan hal itu. Perempuan pemrakarsa komunitas bernama FLP ini telah melihat kerinduan itu, lebih dari sekadar kerinduannya pribadi. Yakni kelak, entah kapan, melihat masyarakat Indonesia sukses menemukan kultur kepustakaannya yang kental dan ajek. Maka sembari hendak turut menyebarkan pemikiran keislaman, menjelang tumbangnya rezim otoriter Orde Baru. Saat itu, mulai banyak komunitas berlahiran sembari merayakan ideologi masing-masing tanpa kekang berarti. Pada 22 Januari 1997, Helvy bersama beberapa rekannya mendirikan FLP di Masjid Ukhuwah Islamiyah, kampus UI Depok.

Mencintai buku
FLP memang menemukan sumber geraknya, yakni aktivisme Islam. Tapi mereka mengarahkan energi itu kepada gerakan yang pesannya universal, mencintai buku, membiasakan diri membaca dan menulis. Tidak lebih. Mencoba menginklusifkan diri, keanggotaan FLP bersifat terbuka tanpa membedakan ras maupun agama.

Mungkin kerinduan tadi pun terakomodasi oleh prinsip Islam rahmat buat semua. Sebab pada perkembangannya, banyak orang yang tertarik dengan sendirinya; berdirilah kemudian FLP wilayah dan cabang di banyak tempat, sampai di mancanegara, tempat di sana banyak mahasiswa dan TKW kita belajar dan bekerja. Konon, kini total anggota FLP mencapai lebih dari 5.000 orang. Puluhan penerbit bermitra dengan mereka.

Dapat dibilang, ribuan orang itu merupakan ceruk pasar yang bagus dari kacamata industri. Maka, fenomena booming fiksi islami di negeri ini (beberapa waktu yang lalu) yang ditandai dengan laku kerasnya Ayat-Ayat Cinta Habiburrahman El Shirazy, misalnya, mungkin punya keterkaitan erat dengan keberprosesan FLP. Bila benar, wilayah industrilah, ternyata, dengan orientasi kapitalnya, yang lebih pesat berkembangnya pada FLP ini. Sementara itu, wilayah lainnya, seperti ruang pemikiran atau sebutlah kesastraannya, belum terlalu diseriusi, atau lebih tepatnya masih menyisakan ruang yang lebih lengang.

Tetapi hal itu memang tidak terlalu menjadi soal yang rumit buat para penulis FLP. Karena menulis, bagi mereka, adalah bagian dari ibadah, yang tentu saja memendam keluhungan tersendiri. Bila cahayalah yang hendak mereka raih dan tawarkan, cahaya itu adalah cahaya yang sederhana.

Cahaya rahmatan lil alamin dalam wajah kesederhanaannya, sesuatu yang lebih mewah dirindukan masyarakat perkotaan dengan segala kesibukan aktivitas mereka. Wallahualam.***

Wildan Nugraha
Koordinator Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung

(Media Indonesia, Minggu, 17 Mei 2009)

Wednesday, May 06, 2009

Diskusi Kamisan FLP Bandung Mei 2009


Catatan Harian: Sebuah Kebelumsudahan

Sebutlah membaca catatan harian adalah membaca kebelumsudahan. Maka buku-buku yang berisi kumpulan catatan harian agaknya tetap menarik buat dibaca kembali. Ambilah misalnya yang tidak terlalu sulit diingat seperti Catatan Seorang Demonstran. Buku itu pernah terbit dengan sampul Nicholas Saputra ketika Mira Lesmana merampungkan film Gie pada 2005.

Sebuah buku catatan harian lainnya yang terkenal adalah Catatan Harian Anne Frank. Berapa banyak sudah orang membacanya di seluruh dunia dan terinspirasi. Berapa banyak sudah komentar positif atau sebaliknya mengenainya. Maklum, isu seputar kekejaman Nazi memang sepertinya diciptakan sejarah untuk terus diperdebatkan. Ada satu hal tapi. Anak kecil bernama Anne itu berbicara tentang keinginannya menangis sendirian saja tanpa ada yang mengganggu, misalnya, kemudian keluar rumah untuk melihat awan di langit sambil berlari-lari kecil dan tersenyum megah, tapi ternyata perang terus berkobar.

Ambilah juga buku Pergolakan Pemikiran Islam misalnya. Ahmad Wahib menuangkan gagasan-gagasannya. Itu sebuah buku yang menghebohkan pada masanya karena dianggap berbahaya. Sebuah buku yang diklaim oleh sebagian kalangan dapat menyesatkan pemikiran Islam, namun oleh sementara pihak disebut memang menyodorkan kebelumsudahan ide-ide. Ya, barangkali karena itu "hanyalah" sebuah catatan harian.

Ada juga buku Memoar Hasan Al-Banna. Sebenarnya dalam perbedaannya dengan apa yang terhidangkan oleh buku Wahib ada juga titik temunya: Al-Banna mempertanyakan dan ingin mendobrak sesuatu. Yakni kebimbangan dan bahkan kejumudan manusia yang lebih diombang-ambing hitung-hitungan Bumi. Ya, sebab kebelumsudahan bagi Al-Banna adalah kebelumsudahan hitung-hitungan Langit memperindah moral manusia yang kerap dibayangi keraguan. Alhasil, catatan-catatan itu dibaca sebagian kalangan aktivis Islam dengan tekun sebab ada sosok paragon di situ, yang punya kelebihan.

Ya, sebuah catatan harian sebenarnya merekam juga banyak kebelumsudahan sebuah persona atau malah sebuah zaman, generasi, cita-cita, semangat. Menarik sebenarnya membaca mengapa mimpi-mimpi yang dicantelkan setinggi langit ala Al-Banna kadang terkontraskan dengan keragu-raguan seorang Ahmad Wahib tatkala sama-sama menalar dan mengukur ketauhidan diri dan umat dengan pelbagai aktivisme mereka. Mengapa pula kepayahan yang polos seorang Anne yang curhat terus kepada Kitty tampaknya belum sudah juga hingga kini: apa sebenarnya yang terus-terusan diperangi orang-orang di luar itu. Pun mengapa masih gampang saja ditemui apa yang pernah dijumpai Gie di negeri ini, kemelaratan yang menistakan rakyat jelata di seberang kedigdayaan penguasa yang berjas dan berdasi. Ya, barangkali karena sebuah catatan harian adalah sebuah kebelumsudahan.***

Diskusi Kamisan Forum Lingkar Pena Bandung Mei 2009

Kamis, 7 Mei 2009, pukul 16.00-18.00 WIB
Catatan Seorang Demonstran (Soe Hok Gie)
Narasumber: Oky Syeiful Rahmadsyah, S.Sos, M.H. (Eksponen Mahasiswa Angkatan ’98, Sekretaris Forum Aktivis Bandung)
Tempat: Selasar Timur Masjid Salman ITB, Jalan Ganeca 7 Bandung

Kamis, 14 Mei 2009, pukul 16.00-18.00 WIB
Catatan Harian Anne Frank
Narasumber: Riki Cahya (Sekretaris FLP Jabar)
Tempat: Selasar Timur Masjid Salman ITB, Jalan Ganeca 7 Bandung

Kamis, 21 Mei 2009, pukul 16.00-18.00 WIB
Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib
Narasumber: Sugeng Praptono (Pustaka Giratuna)
Tempat: Selasar Timur Masjid Salman ITB, Jalan Ganeca 7 Bandung

Kamis, 28 Mei 2009, pukul 16.00-18.00 WIB
Memoar Hassan Al-Banna
Narasumber: Dedi Setiawan (Mahasiswa ITTelkom)
Tempat: Ureshii Book Corner, Jalan Bali 6, Bandung

Acara terbuka untuk umum dan gratis
Informasi: Wildan (0817613420 & 02292464249)

Tuesday, May 05, 2009

Obituari Rinrin Migristine


Innalillahi wa innailaihi rajiun. Ahad, 3 Mei 2009, Rinrin Migristine, anggota Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Bandung, meninggal dunia sekitar pukul 04.00 WIB di RS Muhammadiyah dalam usia 29 tahun dikarenakan sakit. Jenazah dikebumikan di TPU Sirnaraga, Kota Bandung. Semoga segala amal ibadahnya diterima Allah SWT. Keluarga besar FLP Bandung mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya. Semoga keluarga yang ditinggalkan dikaruniai ketabahan.

Selain di FLP, semasa hidupnya Rinrin, alumni FISIP Unpad kelahiran Bandung, 31 Januari 1980 itu, aktif mengelola buletin Bina Ginjal, sebuah media komunikasi bagi, sebagaimana juga dia, para pasien gagal ginjal di kota-kota di Indonesia. Oleh sebab itu Rinrin adalah inspirasi bagi kami. Dia tetap aktif menulis, untuk kemanusiaan. Pada hari wafatnya, 3 Mei 2009, itu sebuah harian, Tribun Jabar, di kota kami memuat sebuah cerpen, "Angin dan Bunga Rumput", yang berbicara tentang kematian dengan dalam dan indah. Pada Ahad itu kami semua, ribuan orang bahkan mungkin, membacanya. Sementara tidak penulisnya sendiri, Rinrin Migristine.

Oleh sebab itu dalam duka yang mendalam, Rinrin adalah sebuah inspirasi. Hingga kapan pun.

FLP Bandung