Tuesday, May 19, 2009

Merayakan Literasi

Oleh Wildan Nugraha

FORUM Lingkar Pena lahir dari sebuah kerinduan masyarakat perkotaan akan keberislaman dan pesan-pesan religiusitas yang mudah dicerna.

Mereka adalah santri, tetapi bukan santri dalam pengertian tradisional dengan tradisi pesantrennya. Mereka rata-rata belajar ilmu-ilmu nonkeagamaan di kampus dan sekolah. Tempat mereka belajar dikepung mal.

Dalam mempelajari Islam, mereka membaca buku-buku yang terbatas, mengikuti kursus-kursus yang singkat, menyimak acara bincang-bincang televisi dan radio, rekaman video, dan belakangan membuka laman-laman internet. Pesantren mereka merupakan pesantren virtual.

Semangat untuk belajar Islam itu bergayut dengan kesenangan manusia untuk bercerita (dalam rangka berkomunikasi), terutama dengan berfiksi. Ya, mereka sebenarnya tidak terlalu peduli dengan sastra atau bukan sastra.

Tidak mau ambil pusing dengan istilah sastra populer atau serius. Mereka hanya mengekspresikan pengalaman keseharian dalam menjalani kehidupan di perkotaan dengan segala fenomenanya, berikut paradoks dan kontradiksinya. Misalnya, mengenai gampangnya mereka melahap materimateri keagamaan yang telah dipadatkan, disarikan, diformulasikan itu. Mereka adalah para santri kota.

Helvy Tiana Rosa sadar akan hal itu. Perempuan pemrakarsa komunitas bernama FLP ini telah melihat kerinduan itu, lebih dari sekadar kerinduannya pribadi. Yakni kelak, entah kapan, melihat masyarakat Indonesia sukses menemukan kultur kepustakaannya yang kental dan ajek. Maka sembari hendak turut menyebarkan pemikiran keislaman, menjelang tumbangnya rezim otoriter Orde Baru. Saat itu, mulai banyak komunitas berlahiran sembari merayakan ideologi masing-masing tanpa kekang berarti. Pada 22 Januari 1997, Helvy bersama beberapa rekannya mendirikan FLP di Masjid Ukhuwah Islamiyah, kampus UI Depok.

Mencintai buku
FLP memang menemukan sumber geraknya, yakni aktivisme Islam. Tapi mereka mengarahkan energi itu kepada gerakan yang pesannya universal, mencintai buku, membiasakan diri membaca dan menulis. Tidak lebih. Mencoba menginklusifkan diri, keanggotaan FLP bersifat terbuka tanpa membedakan ras maupun agama.

Mungkin kerinduan tadi pun terakomodasi oleh prinsip Islam rahmat buat semua. Sebab pada perkembangannya, banyak orang yang tertarik dengan sendirinya; berdirilah kemudian FLP wilayah dan cabang di banyak tempat, sampai di mancanegara, tempat di sana banyak mahasiswa dan TKW kita belajar dan bekerja. Konon, kini total anggota FLP mencapai lebih dari 5.000 orang. Puluhan penerbit bermitra dengan mereka.

Dapat dibilang, ribuan orang itu merupakan ceruk pasar yang bagus dari kacamata industri. Maka, fenomena booming fiksi islami di negeri ini (beberapa waktu yang lalu) yang ditandai dengan laku kerasnya Ayat-Ayat Cinta Habiburrahman El Shirazy, misalnya, mungkin punya keterkaitan erat dengan keberprosesan FLP. Bila benar, wilayah industrilah, ternyata, dengan orientasi kapitalnya, yang lebih pesat berkembangnya pada FLP ini. Sementara itu, wilayah lainnya, seperti ruang pemikiran atau sebutlah kesastraannya, belum terlalu diseriusi, atau lebih tepatnya masih menyisakan ruang yang lebih lengang.

Tetapi hal itu memang tidak terlalu menjadi soal yang rumit buat para penulis FLP. Karena menulis, bagi mereka, adalah bagian dari ibadah, yang tentu saja memendam keluhungan tersendiri. Bila cahayalah yang hendak mereka raih dan tawarkan, cahaya itu adalah cahaya yang sederhana.

Cahaya rahmatan lil alamin dalam wajah kesederhanaannya, sesuatu yang lebih mewah dirindukan masyarakat perkotaan dengan segala kesibukan aktivitas mereka. Wallahualam.***

Wildan Nugraha
Koordinator Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung

(Media Indonesia, Minggu, 17 Mei 2009)

No comments: