Tuesday, May 19, 2009

Negosiasi Sastra dan Industri

BERWAJAH dan berwujud pas-pasan, Minni ialah seorang gadis introver yang gemar membaca dan menulis dalam kesendirian. Ibunya membesarkan Minni seorang diri tanpa suami.

Sementara itu, dengan orang tua yang berkelimpahan materi, Meggy ialah gadis cantik yang cerdas dan kritis. Juga dia senang membaca. Namun, Meggy pandai bergaul dan tidak pernah ketinggalan tren.

Lalu ada Micky. Datang dari keluarga kecil yang harmonis dan cukup religius, dia adalah siswa SMU yang dicap aneh oleh kawan-kawannya. Micky merugi tidak pacaran atau sekadar nongkrong di mal, malah ia kerap menyepi dengan buku di kamarnya di malam Minggu.

Minni, Meggy, dan Micky. Tiga tokoh utama dalam Diary Minni, sebuah novel remaja karya Irfan Hidayatullah (2005), Ketua Umum Forum Lingkar Pena. Lewat novel ini, Irfan seperti ingin menggambarkan kegundahgelisahan remaja perkotaan dalam pencarian identitas. Ya, dalam novel yang tidak terlalu tebal ini, 152 halaman, terangkum beberapa karakter tipikal remaja perkotaan zaman kiwari dengan berbagai fenomenanya.

Misalnya, ada wacana tubuh di situ, tentang cantik atau tidak cantik. Ada budaya pop dengan MTV dan sebangsanya, siapa yang gaul dan tidak gaul. Juga ada fenomena broken home, alienasi, orientasi seks, keperawanan, dan pelbagai fenomena lainnya yang lazim didapati pada masyarakat kota yang disebut modern. Pun, Irfan memasukkan wacana kereligiusan dan spiritualitas dalam novel tipisnya itu.

Nilai-nilai ditemukan Minni dalam bacaannya yang luas, dari Kuntowijoyo, Ahmad Tohari, Joko Pinurbo, Afrizal Malna, hingga Pramoedya, TS Eliot, dan banyak lagi. Banyak konsep dan wacana bertebaran yang dapat diendus dalam Diary Minni, meski cukup terjaga dalam balutan ceritanya. Termasuk soal Islam dalam cernaan para tokohnya yang berusia remaja.

Ya, barangkali Diary Minni dapat diambil sebagai salah satu contoh kecenderungan sastra islami populer ala FLP. Selain Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman E Shirazy, tentu saja, yang dikenal luas di masyarakat. Benang merah yang bisa ditarik dari karya-karya mereka itu, ada kepedulian untuk menyampaikan gagasan lewat tulisan, lewat cerita, atau sebutlah, lewat sastra. Dan yang mereka ambil adalah jalur populer, jalur yang menjanjikan lebih banyak pembaca ketimbang sastra serius.

Gerakan cakrawala
Yang tengah berlaku bagi Minni, Meggy, dan Micky barangkali adalah sebuah bentuk dialektika. Sebuah dialog pencarian yang sebenarnya tidak bisa dibendung, untuk lantas menemukan bentuk-bentuk identitasnya yang tertentu. Sebuah identitas yang disadari. Identitas di dalam belantara kota.

Seperti itulah juga barangkali komunitas pengarang itu. Menuju sebuah identitas yang disadari itu, pengurus FLP menggiatkan Gerakan Cakrawala, gerakan membaca karya dan wawasan kebudayaan lainnya. Sebab, terburu-buru berpuas diri tentu bukan hal yang menguntungkan. Penulis-penulis FLP kini bukan saja mereka yang hanya baru ingin bisa menulis. Mereka adalah para Minni, Meggy, dan Micky yang mencoba melongok keluasan dunia terhampar di luar sana lewat jendela teks, atau lewat, sebutlah, sastra.

Maka, digelar rangkaian diskusi umum di berbagai kota. Salah satunya di Bandung, tempat cabang FLP juga hadir. Cukup menarik, sebab diskusi yang ditajuki Sastra dalam Budaya Massa itu hendak merespons sebuah polemik di sebuah surat kabar mengenai FLP itu sendiri. Tentang keluasan, keberbagaian, dan kemendalaman makna sastra islam yang terkesan tereduksi oleh kehadiran FLP dengan karya-karyanya yang pop.

Diskusi yang diselenggarakan di Auditorium Masjid Salman, ITB, 22 Maret 2008, itu menghadirkan Yasraf Amir Piliang, Safrina Noorman, dan Irfan Hidayatullah. Yasraf, pemikir pada Forum Studi Kebudayaan, FSRD ITB, membawakan makalah Sastra dan E(ste)tika Massa; Safrina Noorman, dosen bahasa Inggris UPI, dengan makalah berjudul Membaca dengan Sikap; dan Irfan Hidayatullah mengajukan Ispolit, Sebuah Negosiasi Budaya.

Yasraf membidik perbedaan sastra tinggi (adiluhung) dan sastra populer (yang lahir dari rahim budaya massa dan dikonotasikan berkelas rendah), yang pemikiran-pemikirannya dapat terjembatani oleh dialog yang kritis dan terbuka.

Dari sisi pendidikan sastra, Safrina antara lain menekankan agar seorang pembelajar memanjakan dirinya justru dengan menekuni keberagaman teks sastra, sebagai salah satu cara untuk meningkatkan sikap kritis.

Sementara itu mengutip Irfan yang mengajukan Ispolit (Islamic Popular Literature), memang bila terjebak pada simulakrum industri, negosiasi budaya yang dimaksud Ispolit menjadi sangat banal dan tidak menyentuh lagi.

Dari Bandung, rangkaian Gerakan Cakrawala pun terus berlanjut ke FLP di kota kota lain. Itu mungkin seperti Minni, Meggy, dan Micky. Mereka terus berdialektika.***

Wildan Nugraha

(Media Indonesia, Minggu, 17 Mei 2009)

No comments: