Sunday, August 17, 2008

Pemuda Pinggiran Kota dan Pekerjaan Pertanian


Wildan Nugraha
Mahasiswa Faperta Unpad

Pekerjaan pertanian bersifat dilematis bagi kalangan muda pinggiran perkotaan. Di satu sisi, bidang pekerjaan ini memberi peluang besar untuk berkarya dan berpenghasilan. Hal ini karena lahan pertanian di pinggiran kota umumnya masih tersedia. Namun di sisi lain, daya tariknya tidaklah tinggi. Bekerja di bidang pertanian-atau berprofesi sebagai petani-bukanlah pilihan populer.

Menurut JA Noertjahyo (2005), hanya sedikit kaum muda terdidik lulusan fakultas pertanian yang mau berprofesi sebagai petani. Selebihnya banyak yang “meloncat” dari akar pendidikan formalnya ke pekerjaan yang tidak terkait dengan pertanian. Sebagian mereka menjadi pegawai negeri sipil dengan tugas pokok nonpertanian. Lainnya menjadi karyawan bank, wartawan, dan lain sebagainya.

Pesatnya pembangunan fisik yang telah mengarah ke daerah-daerah pinggiran, punya andil besar dalam persoalan ini. Alih fungsi lahan pertanian tentu menyurutkan lapangan pekerjaan ini. Sementara, rendahnya perolehan pendapatan dari pekerjaan pertanian adalah faktor lain yang patut diperhitungkan. Tingkat upah riil bidang pertanian cenderung statis, meski sejak bergulirnya Revolusi Hijau tahun 1970-an hingga sekarang tingkat upah nominal pekerjaan pertanian terus mengalami kenaikan. Namun, dibandingkan dengan industri, laju kenaikan upah pertanian hanya sekitar separuh tingkat upah sektor industri (Kasryno, 2000).

Orientasi pembangunan masa lalu yang lebih menitikberatkan kawasan perkotaan ternyata belum beranjak lebih baik di era reformasi ini. Pembangunan mal di perkotaan tidak sebanding dengan pembangunan infrastruktur di daerah-daerah pinggiran. Hal ini menyiratkan bahwa segala fasilitas sarana infrastruktur dan tata peruntukan lahan kota, lebih ditujukan bagi kelompok masyarakat yang telah meninggalkan mata pencaharian primer (pertanian) ke sekunder dan tersier (nonpertanian).

Menyoal kota adalah menyoal juga soal urbanisasi. Semangat perkotaan dengan “ancaman” modernitasnya berlaku paling besar bagi wilayah sekitarnya yang terdekat. Bila bukan melalui pengembangan atau pemekaran, imbas semangat perkotaan akan mungkin sampai ke daerah-daerah pinggiran lewat banyak jalan lain.

Seperti ditulis Setyobudi (2001), para petani di daerah pinggiran sebenarnya sudah-atau tengah-melakukan urbanisasi dalam artian pasif. Mereka tidak beranjak, tapi menghadapi suatu perubahan lingkungan. Lahan sawah mereka tidak hanya beralih fungsi, tapi juga beralih kepemilikan ke tangan orang kota.

Tentu, keadaan ini tidak luput berpengaruh terhadap pemuda pinggiran kota. Apalagi secara sepintas pemuda adalah golongan yang dianggap paling suka akan hal-hal yang baru. Mereka akan sangat tertarik menyerap teknologi modern. Dalam hal ini kota dengan segala hasil produksinya ialah simbol dari modernitas. Lebih jauh, tidak berhenti semata mengonsumsi produk-produk kota, mereka tengah berhadapan dengan gaya hidup modern (perkotaan).

Pekerjaan merupakan salah satu alat untuk mencukupi kebutuhan manusia baik secara materi atau nonmateri. Sebagai alat, pada pekerjaan selalu lekat simbol-simbol status yang mendasari pandangan seseorang terhadap pekerjaan tersebut.

Menurut Henry Pirenne (dalam Kuntowijoyo, 2005), jika masyarakat tradisional dengan mudah dikaitkan dengan pekerjaan pertanian, maka ciri-ciri pada masyarakat kota, dengan modernitasnya, ialah dominasi kegiatan nonpertanian sebagai sumber mata pencaharian. Singkatnya, kota-kota hidup dari perdagangan dan industri, sedangkan pedesaan dari pertanian.

Pemuda pinggiran kota ialah subyek yang unik. Di satu sisi mereka merupakan anggota masyarakat perkotaan yang bersifat kosmopolit dan dinamis. Sedang di sisi lain, mereka masih relatif lekat identitas masyarakat agraris, yakni keakraban dengan suasana pertanian. Di lingkungan mereka umumnya sawah dan ladang masih terhampar luas.

Keadaan dualitas ini menempatkan pemuda pinggiran kota pada persimpangan jalan: apakah mereka kelak sepenuhnya tidak melirik pertanian sebagai pekerjaan; atau sebaliknya, meski sebagai sampingan, selingan, atau pilihan terakhir, mereka akan pergi ke sawah dan ladang, berprofesi sebagai petani.

Namun, perlu juga dicermati soal keberadaan lahan pertanian di masa datang. Apakah tidak mungkin suatu saat laju pembangunan perkotaan akan menggilas habis lahan pertanian di daerah-daerah pinggiran. Ingat, sudah banyaknya aturan dirancang, bahkan diterbitkan, tapi tetap mandul mencegah alih fungsi lahan pertanian.***

(Tribun Jabar, Rabu, 23 Juli 2008)

No comments: