Sunday, February 12, 2012

Selamat Tidur


Oleh Wildan Nugraha

“Wasalam. Selamat malam,” ucapku.
Kamu diam.
Di tempatku Siklus Djaduk memenuhi ruangan.
“Selamat tidur.”
“Tidak mau,” sahutmu tiba-tiba. “Aku takut tidur sekarang. Tidur adalah maut. Dan aku takut maut. Aku sedang ingin jujur dan tidak mau berbohong. Bahkan pada orang lain.”
“Selamat tidur,” ulangku, dengan nada terjaga, seolah tidak menggubris kekacauanmu yang sebenarnya mencemaskan: mengapa kamu tahu apa yang sedang kukacaukan?
“Kamu saja yang tidur,” jawabmu. “Kamu tidak takut maut, bukan?” tajam katamu, seperti ingin merincih sesuatu.
“Kamu merajuk. Tidur hanya maut sesaat,” kataku, lalu kugigit lidah.
“Apa bedanya sesaat dengan selamanya?”
Lengang sebentar. Pertanyaanmu seperti anak kecil yang kegirangan sehabis pintar membaca. “Kamu mau yang mana: mau kuanggap pertanyaanmu itu yang paling bodoh kudengar hari ini atau sebaliknya, yang paling cerdas sepekan ke belakang?” tanyaku, membebaskan ujung lidah dari geraham.
“Kamu berbicara tanpa berpikir. Itu kasar sekali.”
“Sebentar,” kataku menjeda. “Biar kubacakan apa yang sedang kukerjakan.”
Kamu diam.
Aku mulai membaca, “Aku selalu merasa terjebak begitu melangkah masuk buskota. Buskota adalah sebuah ruang akuarium dengan kekuatan besar penyedot manusia. Manusia-manusia itu dengan sukarela pada mulanya. Karena memang merasa perlu. Namun sesaat setelah tubuhnya melewati pintu, mereka telah terjebak laksana ikan di akuarium. Terjebak dan terpetakan. Dengan kadar membengkak, jadi terarahkan guna mencapai sesuatu tujuan tempat. Bisa sesaat, bisa lama, hingga selamanya. Untuk yang terakhir itu aku sesungguhnya tak menemukan cukup alasan untuk berada di dalamnya. Aku hanya sesaat sebagai ikan di akuarium itu. Namun sesaat terkadang lama. Ternyata tergantung kondisi yang terbentuk kemudian, dan aku merasa tidak memiliki kekuatan utuh guna memandang semua dalam genggaman pikiran: bukanlah tergantung mau kubawa ke mana kondisi itu kelak, tidak lantas tergantung bagaimana dan dari sisi mana aku menilik semuanya.”
Kamu diam. Aku yakin kamu sedang menahan tawa yang kantuk.
“Aku tidak mengerti,” katamu.
“Kamu bohong,” kataku.
“Aku memang mengantuk.”
“Selamat tidur.”
“Lanjutkan dulu.”
Aku diam.
“Halo?”
“Kan tidak mengerti?”
“Biar.”
Aku melanjutkan membaca, “Ya, aku telah kehilangan daya setiap kali melangkah masuk buskota. Barangkali aku telah kehilangan sebagian diriku setiap kali kakiku melangkah masuk kendaraan besar ini. Aku adalah seberapa bagian diriku saat berada di dalam badan buskota, untuk kemudian menemukan kembali keutuhan diriku kelak saat menjejak tanah di suatu tempat yang telah aku perkirakan. Maka kadang bila kusinggungkan kepalaku pada ranah rasionalitas, belahan seberapa bagian diriku yang tertinggal itu ialah makhluk niskala yang sakti. Ia mewujud sesuatu makhluk kasat mata bahkan bagi mataku sendiri. Ia bukan tertinggal tapi meninggalkanku. Melepas membelah pada suatu saat untuk menemukan kembali diriku, yang membuat aku merasa utuh kembali, pada suatu saat tertentu.” Aku berhenti membaca.
“Suaramu bergetar.”
“Aku sedang di bus.”
“Kapan kau turun?”
“Bila kau tidur.”
“Tidak lucu.”
“Tentu saja.”
“Ha-ha: haduh, ‘rasionalitas’....”
“Kamu punya usul?”
“Tidak sama sekali.”
“Bagus.”
“Sihir.”
“Apa?”
“Tidak.”
“Kamu melantur. Tidurlah.”
“Kamu saja.”
“Ya, aku tidak pernah takut untuk tidur.”
“Kamu bohong.”
“Benar. Aku tiba-tiba penakut.”
“Aku jadi ingin ke jalan.”
“Mau apa?”
“Nanti kulihat bus pertama, aku akan naik dan enggak akan turun lagi.”
“Kau melantur.”
“Karena aku sudah tidur.”
“Tunggu....”
Kamu diam.
Siklus berputar-putar di ruanganku.
“Biar kubacakan apa yang sedang kukerjakan,” katamu, berhenti diam.
“Aku mendengarkan,” kataku.
“Kamu memang bodoh.”
“Kamu juga.”
“Deret Mawar adalah Sebaris Luka Berwarna Merah.”
“Apa?”
“Judul.”
“Kasihan sekali. Lanjutkan.”
“Aku menggelar sajadah dan tiba-tiba sekelilingku taman bunga. Sampai salam dan rampunglah shalat malamku, sekitarku tetap taman bunga. Aku pun menjadi takut.”
“Lalu?”
“Selesai.”
“Selesaikan.”
“Aku ngantuk.”
“Selesaikan....”
Kamu diam.
Aku diam.

Bandung, 29 April 2007. 02:15
(Tribun Jabar, 27 Juli 2008)

No comments: