Sunday, June 18, 2006

LILIN


Malam 10 Juni itu saya tidak mencatat berapa lilin berubah menjadi puisi. Sebuah detail yang mungkin abai dari hitungan saya; namun tidak pada temaram ruangan itu. Saat tulisan ini masih di kepala, saya mencoba memikirkan semua-mua hal. Soal riuh rendah sore di Ledeng dan satu per satu kawan-kawan muncul terlambat. Soal embun di daun pelan menguap oleh pagi keesokan harinya, seperti doa yang hanif terbang ke langit, dari kabar kawan-kawan akhwat. Soal, ah-ah, buaya-buaya yang lucu kita sapa dan ambili gambarnya di siang Ahad itu. Soal stroberi dan jerawat entah mengapa masuk "Kamus Neruda" dan semua terlihat bahagia. Namun, terang yang pendar dari lilin-lilin itu, yang lantas hadir selebih kukuh di sekeliling saya.

Malam 10 Juni itu, saat akhirnya saya mencoba meyakinkan Kang Adew agar tidak lagi perlu mengupayakan listrik meluncur ke pondok, sebenarnya saya tengah mengocok dadu dan melempar harapan pada kawan-kawan: entah berapa totalnya lilin yang kita kemas dan malam terus beranjak tua dan saya tidak tahu apakah semua kawan bakal nyaman tanpa menatap bolam berpijar semalam saja.

Akan tetapi justru kini saya kira batalnya listrik di pondok ialah salah satu keajaiban dunia--pujilah nama-Nya, kawan. Siapa sangka acara itu mengalir menawan dan berkesan melebihi harapan--setidaknya bagi saya: ini soal pencahayaan. Mirip tontonan teater atau ruang bioskop yang dibuat gelap sepanjang pertunjukkan. Membuat mata hadirin rela digiring fokus tertentu dengan penekanan lebih. Dan malam itu di pondok itu, penekanan yang lebih bukan milik satu dua namun padu dari semua. Hingga saya lena telah menulis di undangan, bahwa pondok di Nyampai, Cikole, Lembang itu, ialah tempat yang representatif bagi kawan-kawan.

Barangkali seharusnya, di sana, saya mengawalkan tandakutip di kata representatif. Hanya saja yang berlalu sudah tersurat dan ini memang perihal pencahayaan, tentang lilin, soal lighting, yang terserak lalu terpetik dari belantara probabilitas: Evaluasi ialah waktu empuk untuk tersenyum dan menjumput bilah dan remah kenang-kenangan yang lalu.

Membaca Layla: sebuah perjalanan menafsir malam. Entah sebelah mana yang dibatasi sebenarnya. Hanya memang lilin-lilin yang menyala itu dan pondok itu menjadi setengah gelap membuat saya jatuh cinta pada detik-detiknya. Barangkali kita ingat, di langit rembulan tengah penuh. Dan layar malam itu alangkah simpuh.

Di rumah, 14 Juni 2006
[Wildan Nugraha]

No comments: