Saturday, February 23, 2008

Anak Kecil Berpayung Itu Bernama Kreativitas

Oleh Wildan Nugraha

SUATU malam saya bertemu orang kreatif. Waktu itu hujan dan saya tidak membawa payung. Saya menunggu angkot di bawah pohon, tapi tetap kepala dan pundak menjadi basah. Lalu seorang berpayung mendekat. Dia si orang kreatif itu: dia menawarkan agar kami berpayung bersama.

Akhirnya kami mengobrol, maka saya pun tahu dia masih SMP kelas VIII. Dia tengah menunggu angkutan kota jurusan yang sama. Pendek kata, saya merasa beruntung, yang ujung-ujungnya kagum pada kepekaan dan ketulusan anak itu. Bahkan ternyata kami turun di tempat yang sama, lalu kembali berjalan berpayung bersama, sebelum bersalaman dan berpisah.

Ya, saya bilang dia orang kreatif. Dalam hujan, meminjam Jalaluddin Rakhmat (2001), dia berpikir realistik, bukan berpikir autistik. Berpikir autistik itu lebih tepat melamun. Tidak mungkin dia mendekat lalu menawarkan payungnya untuk kami pakai bersama, bila dia sedang melamun. Sebab dengan berpikir autistik orang melarikan diri dari kenyataan, dan melihat hidup sebagai gambar-gambar fantasi. Berpikir realistik, disebut juga nalar (reasoning), ialah berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata. Berpikir deduktif (mulai dari hal-hal yang umum pada hal-hal yang khusus), berpikir induktif (dari hal-hal yang khusus dan kemudian mengambil kesimpulan umum—generalisasi), dan berpikir evaluatif (berpikir kritis, menilai baik-buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan), adalah macam-macam cara berpikir realistik.

Contoh berpikir deduktif: “Jika kehujanan orang menjadi basah dan kedinginan. Dia kehujanan. Maka, dia basah dan kedinginan.” Contoh generalisasi (berpikir induktif): “Saya kehujanan dan berpayung. Ibu-ibu itu kehujanan dan berpayung. Bapak-bapak itu kehujanan dan juga berpayung. Semua yang kehujanan itu berpayung! Maka dia yang kehujanan dan tidak membawa payung itu, harus juga berpayung!”

Sementara dalam berpikir evaluatif, kita menambah atau mengurangi gagasan. Kita menilainya menurut kriteria tertentu. Misal: “Orang itu tidak berpayung. Dia mulai basah dan terlihat kedinginan. Raut mukanya ramah. Payungku cukup lebar untuk dipakai berdua.”

Ohya, anak kecil berpayung yang kreatif itu namanya Adi.

Bila tiga macam berpikir di atas bersifat rasional, ada jenis cara berpikir lain yang dianggap irasional, yakni berpikir analogis. Dengan berpikir analogis, umumnya orang menggunakan perbandingan atau kontras. Jika kita mengatakan bahwa kehidupan di Bandung berbeda dengan Jakarta, kita menggunakan perbandingan. Jika kita membandingkan keadaan pedesaan Indonesia sebelum dan sesudah reformasi 1998, kita menggunakan kontras. Disadari atau tidak disadari, setiap kali kita menetapkan keputusan tentang sesuatu yang baru dalam pengalaman kita, kita kerap berpikir secara analogis, yakni dengan menghubungkannya pada sesuatu yang sama pada masa lalu. Bila kita membeli ikan mas, karena kita menyukai ikan mas yang dulu, atau jika kita mendengar nasihat kawan, karena dulu nasihatnya benar, kita berpikir secara analogis.

Timbul pertanyaan, ketika orang berpikir kreatif, jenis berpikir manakah yang paling sering dipergunakan: deduktif, induktif, atau evaluatif? Menurut Jalaluddin Rakhmat jawabannya justru: berpikir analogis! Saat seseorang berpikir kreatif (analogis), dia mampu melihat berbagai hubungan yang tidak terlihat oleh orang lain.

Orang biasa juga sering berpikir analogis, tetapi berpikir analogis orang kreatif ditandai oleh sifatnya yang luar biasa, aneh, dan kadang-kadang tidak rasional. Ada yang mengatakan bahwa orang kreatif biasanya agak gila. Baik orang gila maupun orang kreatif, memang, mempunyai kesamaan: berpikir tidak konvensional. Tetapi pikiran orang gila tidak menimbulkan pencerahan atau pemecahan masalah. Orang kreatif melakukan loncatan pemikiran yang memperdalam dan memperjelas pemikiran. Dengan kata lain, meminjam Budi Matindas, kreativitas adalah penyelewengan yang mendapat acungan jempol. Acungan jempol itulah, lebih kurang, yang membedakan seorang kreatif dengan yang sekadar nyentrik, aneh, bahkan gila.

Soal kreativitas erat juga kaitannya dengan konsep berpikir konvergen dan divergen. Jika kita ditanya, “Apa ibu kota Republik Indonesia?” kita menjawabnya dengan berpikir konvergen, yakni kemampuan untuk memberikan satu jawaban yang tepat pada pertanyaan yang diajukan. Jika kita ditanya, “Apakah perbedaan antara desa dan kota? Sebutkan sebanyak mungkin,” kita menjawabnya dengan pola berpikir divergen, yakni, mencoba menghasilkan sejumlah kemungkinan jawaban. Berpikir konvergen erat kaitannya dengan kecerdasan; divergen, dengan kreativitas.

Ada cerita terkenal tentang mekanisme berpikir analogis-metaforis. Para psikolog menyebutkan lima tahap berpikir kreatif. Raja Syracus ingin mengetahui apakah mahkotanya betul-betul terbuat dari emas murni, atau tukang emas sudah menggantikannya. Ia menyuruh Archimides menelitinya. Archimides mulai berpikir, “Bagaimana caranya menentukan logam yang dijadikan bahan mahkota itu tanpa merusaknya?” (tahap orientasi). Lalu, ia meneliti semua cara untuk menganalisis logam (preparasi). Semuanya memerlukan pemotongan atau pemecahan. Ini tidak mungkin dilakukan. Archimides menyingkirkan soal ini sementara (inkubasi). Suatu hari, ketika mandi, ia merasakan tubuhnya mengapung. Ia menemukan pemecahannya (iluminasi). Ia melonjak gembira, dan dalam keadaan telanjang lari ke jalan, seraya berteriak, “Eureka, eureka!” (Saya menemukannya, saya menemukannya!) Setelah itu, ia menguji hukum Archimides—begitu kemudian dikenal dalam dunia fisika—untuk meneliti berapa jumlah air yang dipindahkan oleh emas murni seberat emas dalam mahkota itu (verifikasi).

Kembali ke Adi, si bocah kreatif... Samakah dia, malam itu, mengalami tahapan-tahapan proses berpikir kreatif, seperti Archimides?

Lalu bila saya hendak ikut-ikutan berkreativitas, seperti misalnya menulis kreatif (bersastra, berprosa, berpuisi) berdasarkan pengalaman saya malam itu, bagaimanakah caranya?

Saya ingin menjawabnya: entahlah! Karena pada hakikanya proses kreatif seseorang terlalu pelik untuk dipetakan. Dan logika ujung-ujungnya hanya bermungkin-mungkin-ria, saat hendak menembus misteri sebuah perjumpaan, penemuan, penciptaan. Mungkin saja saya bisa menerapkan lima tahap berpikir kreatif di atas: Orientasi, Preparasi, Inkubasi, Iluminasi, dan Verifikasi. Atau, saya lebih mula menekankan pada berpikir divergen, dengan memikirkan sebanyak-banyaknya kemungkinan yang bisa terjadi. Lalu menetapkan sebuah konflik sebagai inti cerita, bila saya hendak berprosa (terutama menulis cerpen). Atau lebih baik saya berpikir analogis-metaforis? Menyangkutpautkan hujan, malam, payung, dan sebuah perjumpaan, pada sesuatu hal lain yang berbeda; memberi kebaruan makna pada kata-kata itu, karena bukankah pesan (kata-kata) diberi makna berlainan oleh orang yang berbeda—words don’t mean; people mean!***

(Sabili No. 13 Th. XV 10 Januari 2008)