Oleh Wildan Nugraha
Dalam berkarya, disadari atau tidak, seorang pengarang senantiasa bergulat dalam pencapaian bentuk dan isi. Yang dimaksud dengan bentuk adalah cara pengarang menulis, sedangkan isi adalah gagasan yang diungkapkan pengarang dalam tulisannya. Dari sini muncul pertanyaan yang sudah klasik, mengenai mana yang lebih penting antara bentuk dan isi. Membaca novel Hujan Luruh di Gigir Sunyi (FBA Press, 2005), lebih kurang kita disuguhi hasil usaha pengarangnya, Nurfahmi Taufik Al-Sha’b, memadukan bentuk dan isi.
Nurfahmi dalam Hujan Luruh di Gigir Sunyi (selanjutnya HLdGS) mengambil bentuk epistolary atau novel bersurat. Bentuk ini dipelopori dan dikembangkan oleh novelis Inggris Samuel Richardson (1689-1761), yang kesemua karya novelnya berbentuk rangkaian surat. Satu yang terkenal dan dianggap karya terbaiknya ialah Clarissa; or the History of a Young Lady (7 volume, 1747-1748). Melalui pencapaiannya, Samuel Richardson tercatat sebagai tokoh penting dalam sejarah novel Inggris modern. Contoh lain yang patut disebutkan ialah sebuah novel karya sastrawan Jerman, Johann Wolfgang Goethe (1749-1832), yakni Die Leiden Des Jungen Werther (1774), yang sudah diindonesiakan menjadi Penderitaan Pemuda Werther (YOI, 2000).
HLdGS menceritakan setidaknya enam tokoh. Rofik Zulkifli, sebagai tokoh sentral. Kemudian Evi Nurazizah, Shinta Muharami, Ani, Ati, dan Siti Aminah. Mereka semua saling berinteraksi. Bagi pembaca, dinamika yang terjadi di antara mereka tersampaikan lewat kumpulan surat, terutama surat dari Rofik untuk masing-masing tokoh lainnya. Dalam novel ini kita mendapati surat berbalas surat, dengan pemeran utama sebagai sentralnya.
Perkara isi, Nurfahmi mencoba menghadirkan lika-liku pemikiran Rofik Zulkifli dalam menjalani hidupnya. Di sini terutama terdapat dua tema besar: tentang cinta dan ketarbiyahan. Yang pertama disebutkan ialah mengenai ikhtiar Rofik dalam mencari jodoh. Salah satu usahanya ialah ber-ta’aruf dengan Shinta Muharami, melalui surat. Lalu mengenai ketarbiyahan, yang agaknya mengambil porsi besar dalam novel ini, ialah bersebab keenam tokohnya ialah aktivis Jamaah Tarbiyah, atau yang lebih familiar dikenal sebagai kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sehingga lewat HLdGS, pembaca yang kebetulan belum mengenal PKS, sedikit banyak akan tahu tentang partai politik ini, tentunya lewat kacamata Nurfahmi, yang diejawantahkan lewat tokoh-tokohnya.
Terdapat pararelitas tema antara HLdGS dan Penderitaan Pemuda Werther, atau umumnya dengan kebanyakan karya sastra, yang memang berkutat tidak jauh dari urusan “memanusiawikan manusia”. Dalam Penderitaan Pemuda Werther Goethe menunjukkan bagaimana perasaan menjadi tumpul karena norma dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Ini berhubungan dengan hak-hak istimewa yang dimiliki kaum bangsawan sejak lahir, bukan karena dicapai melalui usaha dan kemampuan. Walau tidak “separah” apa yang hendak digugat Goethe, atau seharu-biru roman Siti Nurbaya yang tokohnya dilindas kultur kawin paksa di zamannya, Nurfahmi dalam HLdGS menggambarkan Rofik Zulkifli yang gerah dengan “keseragaman” pola pikir rekan-rekannya di Jamaah Tarbiyah, yang menurutnya mereka itu stereotip dan tak lebih dari hasil cetakan partai belaka. Momentum yang tepat Rofik dapatkan saat berusaha mencari cinta (jodoh).
Sebagai orang yang memercayai cinta, Rofik mensyaratkan bagi dirinya sendiri dalam berjodoh, yakni ia harus mencintai calonnya. Sebab menurutnya, sarana untuk terjadinya berpasang-pasangan seperti yang difirmankan Tuhan dalam Al-Qur’an, adalah cinta. Dan hanya dengan cintalah ia akan menemukan calon istri yang se-kufu. Konsekuensinya, dalam ber-ta’aruf Rofik kerap mengalami ketidakcocokkan. Dampaknya, Rofik dianggap tidak serius oleh rekan-rekannya di jamaah. Lebih luas lagi, berkenaan dengan “tawar-menawar” antara idealitas dan realitas dari zaman ke zaman yang memang tak juga kunjung rampung, Rofik memilih “berbeda” dengan kader lainnya.
Misalnya dalam berislam. Ini semacam otokritik terhadap sebuah institusi dari seorang kadernya: Meskipun Rofik mengakui Jamaah Tarbiyah adalah kelompok yang paling cantik dan elegan dalam merepresentasikan Islam di Indonesia (karenanya Rofik memutuskan bergabung), ia tidak ingin menjadikan Tarbiyah sebagai terminal akhir dalam berislam, sebagai media pamungkas bahkan satu-satunya sarana untuk mendekat dan kelak menuju Tuhan, sebagaimana yang sering didengar Rofik sebagai kelaziman bahkan “keharusan” dalam jamaahnya. Hal ini dalam wacana sosiologi, merupakan dampak pendikotomian yang terjadi dalam masyarakat modern antara kehidupan privat dan kehidupan publik, di mana kerap kehidupan privat cenderung inferior dan dikuasai oleh kehidupan publik.
Kemudian dalam HLdGS, kita pun dapat merasakan pengerucutan kisahan yang dilakukan Nurfahmi pada sebuah gagasan mula dan akhirnya, bahwa tiap-tiap manusia itu unik dan memiliki konstruksi yang berbeda model kerumitannya. Untuk itu, tidak harus seseorang lantas main pukul-rata terhadap orang lain atau berharap terlalu lebih tentang seseorang.
Hal lain yang bisa ditemukan dalam novel debutan Nurfahmi Taufik Al-Sha’b ini ialah, lewat tokoh Rofik yang kritis namun sekaligus berusaha keras menjaga keislamannya, kita melihat “pertemuan” antara kutub “intelektualitas” dan “tradisonalitas”. Karena bukankah salah satu ciri keintelektualan ialah kecenderungan untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu; sedangkan ketradisionalan adalah “pasrah” terhadap kebertentuan nasib (kebertakdiran) yang jadinya seolah tidak misterius itu?
Memadukan bentuk dan isi agar saling mendukung dalam sebuah novel yang baik, yakni yang mendedah realitas, mengobarkan imajinasi, dan menyuarakan aspirasi sekaligus, pada gilirannya akan menggapai salah satu hakikat sastra: menggambarkan manusia sebagaimana adanya. Ia akan mengajak pembaca melihat karya tersebut sebagai cermin dirinya sendiri. Untuk itu, satu segi yang tak akan luput oleh seorang pengarang yang baik ialah perkara retorika. Ini penting agar pembaca “rela” berpartisipasi dengan keinginan pengarang.
Namun bukan tanpa risiko, kemahiran beretorika pada kadarnya yang tertentu dapat mengaburkan moral atau amanat dalam sebuah karya sastra, sehingga bukan moralitas yang diidealkan yang muncul namun kecanggih-mahiran si pengarangnya meretorikakan tokoh-tokohnya sesuai dengan logika dan maksud yang dikehendaki.
Seperti dalam HLdGS, sebenarnya tidak sedikit paradoks yang hadir berseberangan dengan kekritisan Rofik: banyak bertebaran kalimat-kalimat yang “menggelikan” namun menarik dan terkesan jujur di novel ini. Salah satunya dalam sebuah surat Rofik kepada Ani: “Ani, orang itu punya selera...kecenderungan. Selama aku ‘ditarbiyah dan di tarbiyah’...aku memang mengalami banyak perubahan. Tapi aku belum bisa menghilangkan kebiasaan-kebiasaanku itu...”[]
==============
Esai ini dimuat di Sabili, edisi 17 th xiv 8 Maret 2007
No comments:
Post a Comment