Barangkali sebuah kebetulan, dua dari tiga cerpen yang dibahas esai ini, ialah karya pengarang Yogya, yang 27 Mei lalu, tertimpa gempa: Joni Ariadinata dan Puthut EA. Dari kabar, alhamdulillah, mereka selamat. Kita doakan bersama.
**
Bukanlah sebuah kemestian, menjadikan karya sastra sebagai jembatan untuk memahami, mencermati, dan memaknai realitas sebuah zaman. Akan tetapi, tanpa perlu memerosokkan diri pada peliknya ruang kreatif para pengarangnya, setidaknya, melalui cerpen "Beringin Cinta" Joni Ariadinata, "Seorang Gadis Tergeletak di Trotoar" M Irfan Hidayatullah, dan "Dalam Pusaran Kampung Kenangan" Puthut EA, kita disodori "kenyataan" itu: sebutlah, sisi-sisi lain realitas kekinian.
Dalam "Beringin Cinta" kita berkenalan dengan Irene, seorang mahasiswi. Kerjanya kuliah, tentu saja. Ia membawa buku-buku ke kampusnya. Namun Joni tidak menggarap habis Irene. Irene dituliskan gadis manja yang terbuai terlena oleh fasilitas dari orangtua tanpa kekang, dan lebih lanjut Joni menjadikannya batu loncatan untuk menggambarkan realitas imajinernya: sebuah kampus Sastra, dengan sebuah beringin tumbuh di tempatnya. Semua pragmatis belaka di tempat orang-orang intelek itu.
Tidak ada idealisme, boro-boro gambaran lingkungan agen perubah sebuah zaman. Semua, bahkan hingga bapak-bapak dosennya, terpuruk mencetak nilai dan ijazah, mengejar materi dan pengganjal perut belaka, bahkan syahwat. Dan Irene dan kawan-kawan mahasiswa-mahasiswinya cuma haha-hihi sepanjang hari. Sepulang kuliah, hingga larut, kita semua bisa menebaknya, sebenarnya. Dan di "Beringin Cinta" tidak ada plot yang jelas, konflik yang jelas, dst dst. Namun jejak-jejak apa yang mau dikatakan pengarang lewat kekerasan, kesemrawutan, atawa kerancakan bahasa dan ungkapan yang memang khasnya Joni, dapat tetap terendus. Hingga, walau ada aroma generalisasi yang terkesan sinis, pembaca yang menamatkan pembacaan telah tersapa: ya, itulah, realita kekinian, agar orang tahu. Namun hemat saya, "Beringin Cinta" berbeda dengan film Virgin, yang konon sama juga hendak menunjukkan realitas anak muda metropolitan zaman kiwari.
"Seorang Gadis", karya M Irfan Hidayatullah, yang kini ketua Forum Lingkar Pena itu. Sama "sederhana"-nya dengan apa yang ingin disampaikan Joni. Irfan ingin menggambarkan orang-orang kota yang nuraninya tergerus limpahan materi. Visi dan misi hidup mereka--sebutlah demikian--tidak lagi jelas: banyak paradoks yang membikin kabur. Sepasang suami istri yang terobsesi menjadikan anak mereka seorang bintang, seorang selebriti atau apalah yang cerdas luar biasa, terkenal lebih dari Dian Sastro atau Britney Spears sekalipun, kalau mungkin.
Anak gadis itu, yang bahkan namanya sudah Bintang, tumbuh sesuai plot orangtuanya. Ia cantik, cerdas, baik, dirindukan, didambakan, dst. Namun ternyata dibalik itu nurani Bintang sampai juga pada titik kritis: Mengapa dan mengapa? Mengapa aku harus begini, mengapa aku harus begitu? Dan untuk apa? Namun deretan pertanyaan eksintensialis itu buyar dan berhenti di ruang-ruang massa yang Irfan simbolkan dengan mal. Akan halnya dengan orangtua Bintang, Irfan dengan dingin menggambarkan paradoks itu: meski memerlakukan Bintang layaknya koleksi guci antik, namun kekhawatiran sang ibu terhadap Bintang kalah oleh kepuasan melewatkan pedicure di salon selama berjam-jam.
Lalu "Dalam Pusaran Kampung Kenangan", salah satu cerpen terbaik Sayembara Horison 2004. Puthut EA menjadi pencerita yang apik di sini. Dengan aroma storytelling yang kental terjaga, cerpen ini "berbicara" banyak sekali hal. Bisa jadi, apa yang hendak Puthut sampaikan ialah kegelisahannya pribadi terhadap perkembangan zaman yang menggila dewasa ini, terutama yang menimpa generasi muda. Dan perihal kegelisahan itu, rasanya tidak salah bila menyebutnya dapat mewakili sebagian besar kegelisahan manusia Indonesia yang waras. Aku pencerita di sini tengah mudik untuk menghadiri pemakaman guru mengajinya di masa kanak. Dimulai dengan kabar dari kampung itu, mengalirlah pula cerita seputar kampung dan permasalahnya, serta pandangan-pandangan "aku" terhadap segudang masalah itu. Mengapa makin jarang saja orang berkumpul di warung kopi, mengobrol hangat, bercengkrama dan seterusnya. Mengapa anak-anak muda seusia SMP dan SMU, kini menjadi "garang" dan "liar".
Yang menarik di cerpen ini, Puthut mengangkat Islam sebagai setting, yang lantas latar itu tidak berhenti sebagai latar, sebagai tempelan belaka. Namun digambarkan Islam yang telah kabur sedari awal oleh kultur masyarakat kampungnya bahkan desanya yang jumud--(desa itu terdiri dari beberapa kampung, salah satunya kampung tokoh"aku".) Guru-guru mengaji dan orang-orang tua di satu sisi sukses melestarikan ritual sholat dan pengajian, namun tidak bisa merombak kebiasaan masyarakat akan judi dan menenggak arak, terlebih kemudian terhadap maksiat lain yang lebih samar namun lebih dahsyat dampaknya: sabu-sabu, video porno. Bahkan mereka hanya bisa kebingungan tanpa mengerti melihat fenomena hp dan play station, yang menyedot minat anak-anak remaja dengan gawatnya.
"[...] warung-warung kopi begitu sepi. Anak-anak kecil sampai yang sudah besar lebih sering nongkrong di tempat play station, tempat-tempat bilyar yang mulai berjamuran, maupun menonton vcd porno. [...] Bu Pariyah salah seorang janda yang dulu berjualan nasi uduk di pagi hari, menghilang entah kemana setelah anak perempuannya yang paling buncit minggat gara-gara tidak dibelikan hp. [...]" ("Dalam Pusaran Kampung Kenangan", Puthut EA, Horison, Januari 2005).
Melalui tokoh "aku", Puthut hampir tidak "bersuara". Ia sebagai kreator, seperti kebanyakan pefiksi yang berhasil, agaknya, lebih menjaga konsistensi dalam pelukisan dan koherensi kisahan dengan tema; melepasbebaskan "aku" untuk berpikir dan berpandangan sesuai kapasitas pribadinya. Hanya beberapa ungkapan bernada pengakuan setelah panjang dan lebar penyituasian: "Mungkin sebetulnya hanya kami yang tidak gampang menerima perubahan jaman. Perubahan yang diam-diam kami ikuti, tetapi semuanya hanya dengan setengah hati. [...] Kami, aku dan teman-teman sebayaku, orang-orang yang lebih tua, sebetulnya bukannya tidak bisa mengerti, tetapi mungkin tidak mau mengerti.".
**
Bila kita mengingat "Maklumat Sastra Profetik"-nya almarhum Kuntowijoyo, kita mendapati bahwa: Sastra Profetik berhadap-hadapan dengan realitas, melakukan penilaian dan kritik sosial-budaya secara beradab. Ia adalah renungan tentang realitas. Dan dengan caranya sendiri Sastra Profetik diharapkan menjadi arus intelektual terhormat, menjadi sistem simbol yang fungsional, bukan sekedar trivialitas rutin sehari-hari dan biasa-biasa saja. Dengan lain perkataan, realitas tak mesti ditutupi, namun juga perlu dikritisi, bukan dibiarkan menjadi stagnan dan jumud.
Karenanya, hemat saya, benarlah ungkapan bahwa "sastra lebih luas dari realitas", "sastra membawa manusia keluar dari belenggu realitas", atau "sastra membangun realitasnya sendiri". Seperti dalam tiga cerpen itu, realitas kekinian memang terhidangkan, namun tak dibiarkan telanjang dan membelenggu.[]
Bandung, 1 Juni 2006
(Seiring doa untuk Yogya)
Esai ini dimuat Sabili edisi 25 th xiii Juni 2006
No comments:
Post a Comment