Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akang Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya.
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akang Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya.
(“Dengan Puisi, Aku”, Taufik Ismail, Tirani dan Benteng, 1983)
Karena berpuisi adalah pilihan dalam berekspresi. Maka dengan caranya tersendiri—cara yang indah, seseorang bisa menuangkan apa saja. Bahkan mengutuk pun dapat: Dengan puisi aku mengutuk/Nafas zaman yang busuk, demikian Taufik Ismail. Mengutuk yang memang bukan sekadar mengutuk. Namun yang menurut-sertakan pertimbangan keindahan.
Bolehlah kita mempelajari puisi lewat pendekatan akademik beraroma kuliahan. Misalnya menganggap puisi adalah suatu sistem penulisan yang margin kanan dan penggantian barisnya ditentukan secara internal oleh suatu mekanisme yang terdapat dalam baris itu sendiri (Djojosuroto, 2006). Wah—cape deh! Tapi itu perlu. Seperlu juga kita menyimak Shelley tentang puisi (dalam Pradopo, 1987): puisi adalah rekaman detik-detik paling indah dalam hidup manusia. Misalnya peristiwa-peristiwa mengesankan, menimbulkan keharuan, seperti kebahagiaan, kegembiraan memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang tercinta. Itulah detik-detik indah untuk direkam.
Boleh kita mencurigai, bahwa puisi yang baik tak bisa tidak lahir dari cara berpikir yang juga puitis. Bila demikian, tentu dalam kesehariannya seorang penyair inginnya tak akan melewatkan sebuah peristiwa pun berlalu terbiarkan begitu saja. Jiwa dan raganya akan siap merespons apa saja, untuk ia maknai. Naluri kemanusiaannya tak jadi kering. Bahkan terhadap sehelai daun luruh pun, melihatnya otak dan nurani dia akan bekerja: segeralah tercetus perasaan tak pantas mengabaikan sebuah saja kesempatan untuk merenung dan tersenyum, sesederhana apa pun itu.
Bila kemudian lahir sikap gemar bertanya dan kritis sekaligus arif, bukan lain ini adalah sebuah indikator positif manusia dalam bersyukur atas nikmat punya akal punya pikiran. Siapakah sesungguhnya manusia, dari mana, untuk apa, dan hendak ke manakah gerangan ia?
Bila membaca daun yang gugur atau ranting yang mengering atau riak air di permukaan danau telah mendorong penyair untuk berpikir, tentulah terhadap hal-hal lebih “besar” dia akan coba teruskan untuk menafakurinya: terhadap gaya rambut dan model baju yang berubah-ubah, selera musik yang bertingkat-tingkat, sampai kualitas film dan sinetron kita yang konon banyak tersunat, dikorup banyak kepentingan. Atau yang “enggak banget, gitu loh”: bapak haji kok korupsi? Apakah gerangan yang bersembunyi di balik antrean fenomena itu? Bila kita mencoba mendekatinya lewat perkara identitas, identitas keislaman misalnya, mungkin cocok mengutip sebuah penggalan karya Mustofa Bisri:
.....
Islam kausku
Islam pentasku
Islam seminarku, membahas semu
Islam upacaraku, menyambut segala
Islam puisiku, menyanyikan apa
Tuhan, Islamkah aku?
Islam kausku
Islam pentasku
Islam seminarku, membahas semu
Islam upacaraku, menyambut segala
Islam puisiku, menyanyikan apa
Tuhan, Islamkah aku?
(“Puisi Islam”, Mustofa Bisri, Tadarus, 1993)
Barangkali sang penyair, Mustofa Bisri, tengah mengikuti anjuran Umar bin Khatab r.a. untuk tidak bosan menghisab diri sendiri sebelum kelak ia dihisab Tuhannya. Sekalipun Mustofa seorang kyai, lewat puisi itu ia lebih melakukan solilokui ketimbang berkhotbah. Dalam puisi itu dia lebih hadir sebagai aku lirik yang tengah berkontemplasi sendirian saja, bukan sebagai pendakwah yang dengan sengaja mengajak orang lain untuk berislam. Perkara pembacanya jadi ikut-ikutan merenung, berpikir dalam soal indentitasnya sendiri, itulah salah sebuah keajaiban puisi. Atau sebut saja, itulah bukti kekuasaan Tuhan. Karena bagaimana tidak, manusia pada hakikatnya, bagi yang meyakini, adalah milik Tuhan, yang barang tentu karenanya ada pula dalam genggaman Tuhan.
Sampai di sini mungkin kita bisa melihat bahwa berbeda dengan prosa (cerpen, novel) yang umumnya bersifat menaratifkan sebuah fenomena, puisi pada hakikatnya adalah pemadatan, pemampatan, pengintisarian dari sebuah hal yang sangat luas. Maka bila seseorang menulis puisi, seakan dia tengah berupaya memeras semilyar kata menjadi beberapa saja yang bisa mewakili.
Nah, karena puisi adalah sebuah intisari, maka saat menikmati atau memaknainya lebih lanjut, seseorang bisa, misalnya, berpikir ke sana. Atau bila aktivitas berpikirnya dituang ke dalam tulisan, berbekal pengetahuan dan wawasan penunjang, dari puisi secuil saja dia bisa menyusun sebuah artikel panjang dan mendalam. Sungguh ajaib dan menyenangkan sebenarnya. Dari sesuatu hal yang amat luas, kemudian dipampatkan, kemudian dikembangkan kembali. Seperti sebuah permainan saja. Permainan yang menyehatkan, memupuk kepekaan, mengasah kreativitas, membangun intelektualitas.
Dan tak kalah penting, tentu saja puisi yang baik adalah puisi yang menginspirasi, yang bisa mendorong siapa saja untuk mau belajar menjadi lebih baik. Juga, yang mampu menggerakkan!
Bandung, 18 Oktober 2007
(Sabili Edisi 9 Th XV, 15 Nov 2007)