Pendaki
gunung sahabat alam sejati
Jaketmu
penuh lambang, lambang kegagahan
Memproklamirkan
dirimu pencinta alam
Sementara
maknanya belum kau miliki
(Bait awal lirik lagu “Kepada Alam dan
Pencintanya”
ciptaan Yan Hartland, dipopulerkan Rita Ruby
Hartland.)
SAYA mengenal Andy sejak SMA. Kami mendaki
Gunung Cikuray di Garut waktu itu. Meski berbeda sekolah, kami menjadi akrab
dan hingga sekarang sering bertemu. Orangnya sederhana, apa adanya.
Semenjak kecil, ibunya adalah sekaligus
ayahnya. Bapaknya tidak pernah bersama mereka, bahkan Andy belum pernah bertemu
dengannya. Mungkin karena hal itulah, maka dia begitu menyayangi ibunya. Dengan
kawan-kawan yang sehobi itu, kami pun sering melewatkan waktu bersama di luar
aktivitas naik gunung. Kadang makan bareng di luar. Kalau begitu, hampir selalu
sebelum pulang, Andy memesan makanan yang dibungkus. Buat Ibu di rumah,
katanya.
Andy anak bungsu. Kakaknya dua, laki-laki
semua. Keduanya sudah berkeluarga dan tidak tinggal lagi di rumah ibunya.
Mereka sebenarnya bukan saudara kandung Andy. Bertanya soal keluarganya yang
pelik, saya memang berhati-hati. Tapi Andy orang terbuka dan besar
hati. Dia senang bercanda tapi kalem, dan polah remaja yang suka meletup-letup
saya kira sudah lewat buatnya. Dia sudah punya anak sekarang. Lucu. Masih
kecil. Gadis mungil itu bernama Zahra, persis julukan buat Fathimah puteri
Rasululah, yang setelah dewasa menikah dengan Ali bin Abi Thalib.
Saya ingat, di sebuah masjid kecil di dekat
rumah seorang perempuan yang kemudian menjadi istrinya, wajah Andy begitu cerah
dan suaranya terdengar mantap saat dibimbing penghulu mengucapkan ijab kabul
pernikahan. Andy dan istrinya masih muda. Kata Andy, target menikah memang usia
25 sampai 28. Tapi kalau usia 23 sudah bisa, mengapa tidak. Istrinya bernama
Nia. Perempuan sopan berkerudung rapi. Mereka bertemu di tempat kuliah. Nia
karyawati sebuah perusahaan swasta dan Andy belum punya pekerjaan tetap waktu
itu. Mereka sama-sama mengambil kelas malam di sebuah sekolah tinggi manajemen
dan informatika swasta di Bandung. Setelah Andy lulus dan mendapat gelar
sarjana teknik, mereka menikah. Kuliah Nia tidak diteruskan, tetapi belakangan
dia kuliah lagi, mengambil PGTK.
Sebelum menikah, sambil kuliah Andy mendapat
pekerjaan di Savoy Homann, di bagian Engineering. Statusnya masih pekerja
harian. Setelah lulus dan menikah, dan beberapa bulan sebelum Zahra lahir pada
April 2007, Andy diangkat sebagai pegawai kontrak di hotel bersejarah itu.
Kalau kebetulan Anda menginap di Savoy Homann, komputerisasi di hotel besar itu
banyak dikerjakan Andy.
Ya, agaknya dia bukan orang malas dan suka
menganggur. Dia selalu bekerja, apa pun itu, yang penting halal. Waktu SMA, Andy
berjualan kue. Hampir setiap hari dia membawa kue bikinan ibunya ke sekolah.
Keuntungannya lumayan, cukup buat ongkos sekolahnya sehari-hari. Selain
berdagang kecil-kecilan itu, mulai kelas dua dia pun menyambi bekerja sebagai
operator warnet (warung internet), yang dulu awal 2000-an mulai marak. Sejak
itu, dia akrab dengan komputer.
Selepas SMA, dia tidak langsung kuliah.
Berhenti bekerja di warnet, dia pergi ke Tangerang sekitar setahun. Bekerja di
perusahaan konsultan yang menangani proyek-proyek PLN di wilayah Tangerang.
Saya merindukannya juga waktu itu. Mengobrol dengan Andy memang tidak terlalu
hebat dan canggih, tapi dia tipe orang yang dapat dipercaya dan pintar
menghibur. Suatu kali saat libur dia datang berkunjung. Waktu itu saya sendirian
di rumah dan dia menginap. Keesokan paginya, saya tiba-tiba terserang sakit
perut hebat. Andy tertawa-tawa saja sambil membikinkan bubur dan larutan
oralit. Saya muntah berkali-kali dan sebentar-sebentar harus pergi ke kamar
mandi. Kalau saya berkumpul dengan kawan-kawan, Andy hampir selalu menyulap kisah
kecil itu jadi cerita pemancing tawa. Banyak lagi cerita lain yang dia punya.
Andy memiliki ingatan detail yang bagus. Kalau sudah bercerita, saya suka heran
dengan kekuatan ingatannya.
Kami memang sering saling berkunjung.
Mungkin betul persaudaraan bukan perkara ikatan darah saja. Sebelum dia
menikah, saya sering menginap di rumahnya. Kalau saya terbangun tengah malam di
rumahnya yang kecil itu, saya suka mendapati ibunya Andy. Beliau rajin salat
malam. Setelah salat, hampir setiap hari, dia mencuci baju. Pekerjaan itu memang
sudah lama dijalaninya: menjadi pengasuh anak-anak mahasiswa yang kos di sebuah
rumah kontrakan, tidak begitu jauh dari rumahnya. Selain memasakkan makanan,
dia mencuci pakaian. Pekerjaan mencuci pakaian sering dibawa pulang.
Malam-malam sebelum tidur, perempuan yang rambutnya sudah banyak memutih itu
suka batuk-batuk hebat. Mungkin kecapaian dan sering masuk angin. Sekarang, di
rumah Andy sudah ada mesin cuci.
Dulu, Ibu Andy senang mendengarkan ceramah
Aa Gym. Setiap pagi selepas subuh, dia sering membunyikan radio kencang-kencang
di kamar Andy di atas. Suara menjadi stereo sebab radio di bawah pun
mengeluarkan suara yang sama. Andy dan saya yang sedang menginap segera bangun,
lalu salat subuh. Kami kesiangan bangun karena terlalu banyak mengobrol
malamnya. Pagi-pagi saya siap-siap kuliah, sementara Andy siap-siap bekerja ke
Savoy. Sebelum pergi, saya melihat Andy salat lagi. Dia salat duha.
Makin akrab dengan Andy, maka tahulah saya.
Di SD dia pernah menjadi ketua murid. Masuk SMP aktif berorganisasi di Pramuka
dan OSIS. Kemudian, kelas tiga SMA dia ketua murid yang dijuluki Kepala Suku
oleh kawan-kawannya. Waktu tulisan ini dibuat, dia dipercaya menjadi Ketua RT
di lingkungan tempat tinggalnya. Saya pura-pura tidak percaya mendengarnya.
Bicara politik, dia bilang suka dengan
semangat pergerakan kaum muda. Dulu waktu SMA, dia pernah ikut-ikutan
demonstrasi dengan para aktivis PRD; diajak oleh seorang mahasiswa ITB yang
tinggal di tempat kos yang diurus ibunya. Andy melihat gambar Che Guevara
dengan tutup kepalanya yang khas. Sekarang dia bilang, pergerakan mereka memang
terlihat seksi. Belakangan, dia dekat juga dengan salah seorang bekas mahasiswa
yang pernah diurus ibunya. Tampak Mas Arif, demikian dia disapa, menginspirasi Andy.
Dari cerita Andy, Mas Arif memang sesuai dengan namanya, arif. Pernah suatu
saat Andy meminta saran buku apa yang enak dibaca. Mas Arif dengan lagak lugu
dan santainya menyodorkan Al-Quran.
Pekerjaan Ibu Andy di rumah kos itu, mungkin
sedikit banyak punya peran dalam perkenalan saya dengan Andy. Mas Ary, salah
seorang mahasiswa di rumah kos itu, suka mendaki gunung. Dia pandai memotret.
Salah satu album fotonya mengabadikan pemandangan Gunung Rinjani yang indah
itu. Andy kecil yang suka dibawa ibunya ke rumah kos itu, kagum akan keindahan
alam dalam gambar. Dunia atas yang hijau dan dekat dengan awan begitu indah meski
dalam gambar, katanya. Apalagi aslinya!
Maka di SMA, Andy bergabung dengan
perhimpunan pencinta alam. Hal itulah yang mengantarkan perkenalan kami
di Gunung Cikuray; dan kemudian banyak gunung lainnya di Pulau Jawa kami daki bersama. Mendaki
gunung, kata Andy, akan menampakkan karakter asli seseorang. Aktivitas itu
melatih mental dan semangat kebersamaan, bukan sekadar jalan-jalan di saat
senggang. Kita pergi bersama-sama dan pulang pun selamat sampai di rumah
bersama-sama. Yang egois dan setia kawan, yang penakut dan pemberani, yang
sembrono dan punya perhitungan, akan kelihatan. Mendapati karakter asli
seseorang, kata Andy, akan memudahkan kita berinteraksi dengannya. Saya jadi
ingat kalimat Umar bin Khatab, berpergian itu menguliti apa yang tersembunyi
dari kepribadian dan akhlak kita.
Ya, pelajaran besar dari aktivitas mendaki
gunung ikut membangun kepribadiannya. Kadang saya iri dengan dirinya yang
bersahaja. Seperti keheningan alam terbuka yang dulu sering kami akrabi, dia tidak
terlalu banyak berkata-kata. Andy buatku adalah sosok yang lebih banyak
berbuat. Seperti soal mencintai ibunya itu, lalu saat dia menikah, dan
belakangan soal memprioritaskan waktu buat keluarga dan lantas menjadi ketua RT—dia
lakoni semua dengan kalem-kalem saja, sederhana, apa adanya.
Dia jarang lagi mendaki gunung meski yang
dekat-dekat, tapi lebih banyak dalam kebersamaan dengan anak dan istrinya, dan
masih tinggal di rumah ibunya yang kian sepuh. Kalau punya masalah dengan
komputer, saya mengirim pesan meminta pertolongannya. Selalu dijawabnya,
silakan datang. Sampai di rumahnya meski malam, mukanya cerah. Saya sering
merasa malu. Dia telah lebih pendaki.***
Wildan Nugraha
2 comments:
ih!
Hmmm ... rasanya saya kenal gaya pemulis nya inj...
Post a Comment