Wildan Nugraha
IA menyalakan bolam bertudung di atas meja tulisnya. Setelah bunyi saklar, tidak terdengar sesuara selain malam di luar jendela. Dengan pensilnya ia merangkai sketsa sebuah taman, yang selalu jatuh di matanya dalam perjalanan pergi dan sepulang bekerja.
**
MAAF barangkali saya mengganggu Anda. Walau saya ragu namun ada yang mendudu. Begini. Saya tahu tak kan ada cara tertepat mengungkapnya. Taman kecil berbunga yang mengelilingi saya, kini kehilangan daya tarik serta pukaunya berkat perusahaan mereka memajang nama produk itu: Kutilista.
Tentu niat mereka baik dan wajar. Profesional dan ditingkah dedikasi. Imbal balik atawa kompensasi, serta prinsip simbiosis mutualisme, saling menguntungkan, adalah halal dan proporsional malah menyehatkan. Karena bekerja mencari nafkah adalah berjarak dengan ruang bakti bersih-bersih tepian jalan kompleks. Akan halnya memugar taman di sekelilingku bukan keraguan saya: bunga-bunga itu indah nan asri dengan sentuhan komposisi mumpuni, mengelilingi saya berlapis-lapis dengan variasi dan warna-warni di sana-sini. Hasil tangan ahlinya yang sanggup melihat dengan mata penikmat pencari suasana. Bukan sekadar sebagai pekerja dengan tingkat kebosanan akut, tapi kerja kreatif bak seniman penggali rasa.
Hanya saya curiga, bila benar, mungkinkah ada dua tangan di situ: yang berikutnya khusus mengejar keterbacaan Kutilista dengan amat-sangat mencolok mata mematok imajinasi: demi kejar tayang atau selera perusahaan mereka belaka? Sebentar, tidak santunkah kalimat saya?
Huruf-huruf besar, sedikit lebih tinggi dari badan Anda barangkali, yang berdiri tegak itu mengingatkan saya pada para preman yang tidak baik hati, senang kasar-kasaran, mengganggu. Lalu catnya, komposisi warnanya, jauh dari kesan lembut dan cerdas, yang saya gemari--bukan semacam selera rendahan nan frontal. Tanpa mengajak saya berembuk, mereka menghapus sihir ambigu yang menawan dengan kesahajaan, dan kini puisi telah terpangkas dari taman kecil yang mengelilingiku. Saya merasa tak lain papan reklame kaku dan angkuh kini. Yang memotong sedari awal wisata pikiran sesiapa yang menambatkan matanya pada saya, pada seputaran saya. Semacam kemunduran yang samar namun tetap teraba lantas diabaikan begitu saja, sebab terlapisi kemajuan lain yang bersicepat di zaman ini yang tanpa rehat dan melenakan. Kini lebih praktis lebih baik, cukup dengan nalar sejenak, tidak usah dalam-dalam atau mengawang bertinggi-tinggi apalagi menggigir-gigir, apa yang dihendak pun tentu sampai--tidak usah luar biasa segala, yang penting rapi; gagahi saja makna dan suasana. Begitu mungkin mereka memerjuangkan estetika Kutilista--maaf, barangkali saya tersepuh oleh seorang pengkhidmat suasana namun bicaranya sinis sekali, yang beberapa pekan sebelum sekelilingku dipugar pernah duduk-duduk ngobrol sampai suntuk dengan kawannya di dekatku.
Saya bukannya mau merayakan kepribadian aneh-aneh, apalagi meminta Anda berpolah nyeleneh. Saya hanya demikian yakin bahwa saya--sedari awal tumbuh hingga besar kini, adalah penikmat taman bunga. Bukankah wajar mata memandang yang patut. Karena kepatutan ialah kesahajaan yang tak lain keindahan. Karena keindahan kata lain kebenaran. Keindahan mengambil tempat di seberang pemaksaan, sekalipun demi menggaji karyawan. Ha-ha-ha.
Begitu, saudaraku. Maaf, sekali lagi, bila saya mengganggu; bila saya menyoal ihwal dangkal wilayah mata--yang justru sepulang ngantor, mata Anda selalu jatuh di cecabangku yang rimbun; di mataku; lalu pada fasilitas umum di seputaranku yang mereka manfaatkan itu, yang mereka tanami Kutilista seolah pagar bagiku. Saya, Anda, bahkan pula mereka--sebenarnya, sama-sama pengagum taman bunga.
**
IA menyudahi pensilnya, meletakkannya di tepi kertas. Ia merasa sketsanya tidak pernah selesai. Selalu ada sketsa baru tiap malam, yang ingin dilipatnya bersayap, diterbangkannya dalam ruangan yang temaram oleh bolam bertudung di atas meja itu.
Bandung, 2006
(Pernah dimuat harian Radar Bandung, 2006)
No comments:
Post a Comment